Menu

4.12.14

Keyakinan akan JanjiNya


Keyakinan akan JanjiNya

Prian Alfan
Keyakinan akan JanjiNya
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memanpukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” –Q.S An Nur ayat 32-

Saya termenung cukup lama selepas mendaras ayat di atas. Menelisik ulang sembari menyusur penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya “Tafsir Qur’annul  Azhim.” Mungkinkah ini jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggelayut di benak?  Tentang satu hal yang teramat krusial: pernikahan.
Ya. Secara naluriah ketika manusia tumbuh dewasa, tentu ada keinginan untuk menikah, terlepas dari motivasi utama apa yang melandasinya. Meski begitu, nahasnya seiring hadirnya keinginan, datang pula hadangan psikologis. Terutama apa yang disebut mental, ketidaksiapan, dll.
Satu alasan umum yang membuat seseorang –umumnya lelaki- untuk menunda menikah adalah masalah finansial (keuangan). Yakni kemampuan memberi nafkah. Secara logika, memang masuk akal, bukan? Jika nafkah belum memadai, nanti anak istri dikasih makan apa? Masakah –bahasa sarkasnya- diberi makan cinta? Bisa kenyang gitu? He.
Hal itu jualah yang selama ini menjadi hambatan utama saya dalam melangkah ke jenjang pernikahan. Kalau masalah calon mah, InsyaAllah bisa dicari. Minimal dengan mencoba mengajak teman sendiri. Eh? Emangnya ada mau? Heu.
Namun selepas merenung ulang ayat di atas diri tersadarkan. Mengapa harus takut, bukankah sudah ada jaminan dari Sang Maha Penjamin: “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”
Masakah ragu? Meragukan janjiNya bukankah sama saja meragukan keberadaanNya. Terlebih sang Nabi Saw mengingatkan, “Kawinlah kamu dalam keadaan miskin, pasti Allah akan memampukan dan memperkaya kamu.”
Selain itu juga dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw. menegaskan,” “Ada tiga golongan yang pasti ditolong Allah: yaitu budak yang ingin memerdekakan dirinya dengan cara bekerja keras, yang ingin melunasi hutangnya, orang yang menikah demi menjaga diri dari perbuatan maksiat dan para pejuang di jalan Allah”. ( HR. Tirmidzi )
            Bukti empiris juga menunjukkan bahwa banyak orang yang menggapai kesuksesan selepas menikah. Ketika bujang banyak yang hidup pas-pasan, setelah menikah berkecukupan. Logika sederhananya, kata orang tua, menikah itu menyatukan rezeki dua orang dalam satu biduk, tentu akan lebih banyak. Makanya provokasi mereka, “Ingin kaya? Menikahlah!”
            Bismilah, berdasar fakta di atas, berlandas keyakian penuh akan janjiNya, saya putuskan berencana menikah selekasnya. Modal nekat istilahnya. Nafkah dari profesi guru honorer yang –maaf- selama ini terasa belum begitu memadai.  Meski nafkah pas-pasan, tapi keyakinan akan janjiNya tergenapkan, terlimpahkan.
             Saya melangkah.
Alhamdulillah, prosesnya dimudahkan. Orang tua menyetujui. Calon bisa didapatkan –yang tak lain sahabat satu genk selama kuliah- he.
            Acara khitbah akhir Juni lalu berjalan lancar. Sempat takut juga lamaran akan ditolak. Terutama jika ditanya perihal nafkah yang akan diberikan? Untunglah hal tersebut tidak ditanyakan. Mugkin calon mertua paham posisi saya yang notabene hanya guru honorer dengan penghasilan yang pas-pasan. Ah, jikapun ditanyakan, saya akan berusaha menjawab, memantap-mantapkan diri.
            “Hari ini saya memang belum punya penghasilan memadai. Tapi saya punya Sang Maha Tinggi. Telah termaktub janji, bahwa akan memampukan diri, sehingga nanti mampu menafkahi.”
            Sementara itu sobat karib terkejut dengan keputusan yang saya ambil.
            “Wah, berani banget. Surprise banget! Tapi aku ikut senang kok.” Ucapnya.
            “Syukurlah.Mohon doannya ya.”
            “Aamiin. Semoga dimudahkan. Oya, BTW, kamu kok berani pisan. ‘Modalnya’ sudah cukup gitu?”
            “Cukup dong, InsyaAllah. Modal nekat gitu lho.”
            “Modal nekat?” Ia tercengang. Saya tersenyum simpul.
            “Modal nekat dan terutama modal keyakinan akan janjiNya. InsyaAllah.” Begitu lihir dalam hati.
Hari ini ketika mengetik naskah ini saya sedang menanti detik-detik pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Grogi, nervous, tentu ada. Namun keyakinanakan janjiNya, alhamdulillah tertanam mantap di dada. Mohon doakan.  Semoga pernikahan ini beroleh keberkahan. Menjadi satu lagi bukti dari Kuasa Sang Maha. Aamiin. Keyakinan akan JanjiNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar