Tiga Alasan Mengapa Jangan Mau Menjadi Guru
Jangan Mau Jadi Guru!
Oleh : Prito Windiarto
Ini serius. Tulisan ini dimaksudkan untuk para remaja. Utamanya siswa kelas XII yang masih bingung mau kuliah jurusan apa. Semoga ini jadi acuan ketika merumuskan jurusan untuk gapaian cita-cita. ‘Jangan mau (bercita-cita) jadi guru, jika.....’ demikian kalimat ini selengkapnya.
Pertama, jangan mau jadi guru, jika niat pertamanya adalah demi meraih kesejahteraan duniawi. Saya beri ilustrasi. Berapa sih gaji guru PNS plus sertifikasi? Setahu saya paling tinggi sekitar 10 - 15 juta (koreksi jika salah). Padahal status ‘PNS’ plus sertifikasi termasuk jajaran elit di dunia ‘keguruan’. Bandingkan misal dengan jajaran elit di perusahaan. Contoh general manajer, direktur, atau bahkan direktur utama (CEO). Gaji mereka bisa sepuluh sampai dua puluh kali lipat dari gaji guru. Apalagi jika penghasilan guru dibandingkan dengan pengusaha sukses. Jauh, sangat jauh.
Yang lebih menggiriskan, tak sedikir guru yang ada di jajaran bawah (soal gaji). Para honorer misal. Pendapatannya bisa hanya 300 – 500 ribu sebulan. Namun, lihatlah, guru-guru yang digaji sedemikian harus berangkat pagi, pulang hingga sore karena mengampu ekstrakurikuler, misal. Ah, sekali lagi, jika niat utamanya soal uang, jangan mau jadi guru.
Dua, jangan mau jadi guru, jika niatannya untuk dapat penghormatan dari murid. Memang benar, di zaman dulu, guru mendapat penghormatan bahkan pemuliaan dari murid-muridnya. Misal, ketika tas sang guru, sebelum masuk gerbang dibawakan murid-muridnya. Sepeda tuanya dibantu didorongkan, dll. Zaman sekarang? Tanpa menafikan (masih banyak siswa yang hormat pada gurunya) kini nilai itu semakin berkurang. Guru memberikan arahan, masukan, eh masih ada saja yang ngeyel. Guru memberikan sanksi atas pelanggaran, eh ada siswa malah melawan. Guru sedang bersih-bersih, memunguti sampah, bukannya dibantu oleh murid, sebagian mereka malah tak acuh. Sekali lagi, saya tak bermaksud menggeneralisasi, masih banyak memang murid yang hormat. Namun tak sedikit yang ‘menyepelekan guru’. Ah, jika guru sudah disepelekan begini, jangan mau jadi guru.
Ketiga, jangan mau jadi guru, jika niat utamanya demi mendapat simpati dari masyarakat. Dulu, meski bergaji kecil, guru mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Dipandang penting dan terhormat. Kini? Lihat saja, marak sekali berita, guru dilaporkan oleh masyarakat (orang tua siswa). Atas dugaan kekerasan pada siswa lah, dll. Padahal para guru tersebut sedang melakukan proses pendidikan (memberikan sanksi atas sebuah pelanggaran). Jika guru dilaporkan ke pihak berwajib, di mana lagi letak tempat khusus itu? Ah, sudah lah, pokoknya, jika demikian jangan mau jadi guru...
Ya. Itu adalah beberapa kondisi real di lapangan. Perlu kajian mendalam jika ada yang ingin jadi guru. Jangan setengah-setengah. Jangan menyalahkan keadaan di kemudian hari.
Meski begitu, pada beberapa keadaan, misal punya niatan mulia memperbaiki pendidikan. Ingin amal kebaikan yang besar. Hendak mencetak generasi berkarakter. Maka... Justru sebaliknya, kita HARUS MAU JADI GURU!
Wallahu a’lam
Wallahu a’lam
Prito Windiarto, praktisi pendidikan. Pengampu blog pelajaranbahasaindonesia.com.
Pernah dimuat di Kabar Priangan rubrik Guru Menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar