Menu

18.1.16

Kisah Mahasiswa : Kompre Is Oke



Kisah Mahasiswa : Kompre Is Oke
Kisah Hikmah Mahasiswa : Kompre Is Oke

Kompre Is Ok!
Prito Windiarto*
Pagi itu, sekitar pukul sembilan, seorang mahasiswi keluar dari sebuah ruangan dengan raut wajah pias. Baru berjalan beberapa langkah, beberapa mahasiswa langsung mengerubunginya.
            Kumaha-kumaha? Naun Bae?” tanya seseorang.
            Gampang teu?” tanya yang lain.
            Mahasiswi tersebut menelan ludah, melipir menjauhi ruangan, tersenyum kecut, dan akhirnya ia bersedia angkat biacara.
            Teu aya siah nu na kisi-kisi mah,” ungkapnya menerawang.
            Nu bener? Naun bae kitu nu ditanyakeun?” Mahasiswa yang mengerubung semakin penasaran. Mahasiswi itu akhirnya menjelaskan panjang lebar, berkeluh kesah.
            Tiga meter dari situasi itu aku duduk mengamati, tepatnya di belakang ruang 1, 2, 3 PJKR. Berjam atau mungkin bermenit kemudian aku akan merasakan sensasi yang bisa jadi tak jauh berbeda. Ini ujian komprehensif!
            Mendengar statmen mahasiswa tadi bahwa “pertanyaannya jauh dari kisi-kisi” tiba-tiba menjadi semacam berita kurang mengenakan. Aku yang sedang bersemangat membaca ringkasan materi jadi sedikit lungai, tak terlalu berselera. Rumor selama ini bukan isapan jempol biasa.
            Baik, sebelum melanjutkan lantunan kisah ini, kita akan sedikit singgung perihal ujian komprehensif (sebagian menyingkatnya menjadi kompre). Ujian ini, diadakan di akhir masa kuliah, setelah semua mata kuliah dari tingkat I sampai tingkat IV terikuti. Bentuknya ujian lisan. Satu peserta “menghadapi” empat dosen penguji. Materi yang diujikan sesuai namanya: komprenesif (menyeluruh). Materi tersebut adalah rumpun mata kuliah pokok. Kalau di Prodi Diksatrasia, meliputi rumpun kebahasaan, keterampilan berbahasaan, sastra dan proses belajar mengajr (PBM). Setiap rumpun memiliki anak cabang mata kuliah, yang, tak bisa dibilang sedikit. Ujian komprehensif bagi sebagian mahasiswa adalah momok menakutkan, selain skripsi. Apa pasal? Selain karena materi yang diujikan berjibun, juga karena “mitos” bahwa nilai yang diberikan oleh penguji dalam ujian komprehensif  tidak tinggi (rendah yang diperhalus).
            Desas-desus lain mengatakan bahwa, materi yang ditanyakan tidak lekat dengan kisi-kisi soal yang diberikan. Dan itu, memang benar adanya, walau tidak mutlak.
            Kembali ke cerita, sekitar satu jam kemudian, namaku dipanggil. Pemanggilan dilakukan secara acak tidak berdasar nomor urut. Aku yang sedang tidak terlalu konsen terkejut menerima panggilan. Tergopoh menuju ruangan. Uluk salam kulantuntan, dijawab serempak tiga penguji –waktu itu satu penguji lain belum hadir-
            “Cepat Prito, waktu kita terbatas!” Instruksi sang penguji, tegas. Ini bagai teror pertama. Bismillah.
            “Baik, Saudara Prito…” ucap salah seorang penguji memulai dengan suara baritonnya yang khas.
            “Tentu saja, untuk Saudara spesial pertanyaan, berbeda dengan yang lain!” Teror kedua! “Beda dengan yang lain?” tanyaku dalam hati, penuh debar.
            “Anda sudah pernah buat novel. Novel Anda termasuk  aliran apa?”
            Hehing. Otak berpikir segera. Tam!
            “Aliran realis Pak!” ungkapku mantap.
            “Apa yang membedakannya dengan aliran lain?!” Ups…
            Pertanyaan terus berhamburan.
            “Bolehkah redundasi dalam sastra?”
            “Kenapa?”
            “Apa itu licensia poetica?”
            “Contohkan redundasi dalam sastra, juga ambiguitas?”
            “Kalau pleonasme?”
            “Apa yang mempengaruhi pelafalan?”
            “Sebutkan jenis-jenis pidato?”
            “Apa maksudnya ekstemporan?”
            “Wa qul qaulan sadida. Apa artinya?”
           
            Aku menjawab sebisanya, kadang-kadang jawaban itu membuat penguji tergelak. Mungkin jawabanku yang sedikit ngawur, atau enatahlah. Yang pasti, Saat itu ada statmen yang takkan terlupa.
            “Anda itu mengecewakan saya!” ucap seorang penguji berjenggot lebat. Aku tercekat “Mengecewakan? Waduh!”
            “Masa kalau biacara ada, e-nya, e-nya. Langsung!”
            “Owh iya Pak! Maaf.” Kupikir kecewa kenapa.
            “Kamu ini bikin terori sendiri, Prito, Prito!” Aku hanya bisa tersenyum.
            “Aamiin Pak, semoga suatu saat saya bisa buat terori. Teori Prito.” Hiburku dalam hati.
            “Ya sudah. Silakan keluar, panggil Saudara  Bla!”
            “Alhamdulillah!”
            Ketika keluar ruangan, seperti mahasiswi tadi aku ditanyai ini itu. Kujawab apa adanya. Wajah-wajah tegang.
            Selepas zhuhur lanjutan ujian komprehensif  untuk materi PBM (tadi pengujinya belum ada). Mekanisme yang nyaris sama. Untunglah di kali kedua ini aku bisa menjawab lebih lancar. Alhamdulillah.
            Selepas ujian, peserta mesti menunggu pengumuman cukup lama. Baru bisa dimulai menjelang magrib. Wajah-wajah kuyu karena lelah bercampur ketegangan. Aku juga merasakan atmosfir yang sama. Selepas sambutan dan pemberian wejangan, nilai-nilai dibagikan. Semua lulus dengan variasi nilai.
            Ada yang pulang sumringah karena mendapat nilai yang bagus, ada yang tertunduk lesu dengan nilai pas-pasan. “Haduh, tilu gen mani henteu!” Gerutu seorang di antara mereka.  Nilaiku? Alhamdulillah!
            Cerita selesai sampai di sana? Ah belum. Ada yang lebih krusial yang hendak daku sampaikan.
Pertama, soal statmen yang mengatakan bahwa, “Wah buat apa belajar, cape-cape nyari materi yang ada di kisi-kisi. Gak ada yang dipake, tahu!”  “Ujian komprehensif ini, untung-untungan, nanasiban!”
Kedua, ada fakta cukup menggiriskan. Beberapa teman, yang, saya tahu mereka belajar sungguh-sungguh, ternyata mendapat nilai yang, jauh dari idaman. Mereka tentunduk lesu. Galau tingkat langit –istilah- anak remaja sekarang. Kemanakah usaha dan munajat doa ini?
Baiklah, ini pendapat daku. Pertama, statmen bahwa ujian komprehensif adalah untung-untugan bin nanasiban, ada benarnya. Orang yang pintar, belajar tekun, bisa jadi karena ketidakmujuran mendapat nilai kurang baik –fakta membuktikan itu. Tapi saya tidak setuju dengan statmen “tidak perlu belajar!” Itu pendapat yang tidak baik. Karena prinsip daku, “yang paling utama adalah proses, hasil nomer sekian.”   
            Lagi pula, usaha, ketekunan dan doa itu bisa jadi “pengetuk”, pembuka (untung-untungan bin nanasiban). Ketika kita telah belajar dengan sunguh-sungguh, kita punya satu pegangan. Pegangan kebaikan, bahwa, kita telah belajar. Allah akan memberikan sesuatu atas apa yang telah kita usahakan.
            Usaha dan doa itulah yang bisa jadi membuat Allah menggerakan hati dan pikiran para penguji untuk memberikan pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah dan pada gilirannya memberikan nilai yang baik. Kalau tidak  ada usaha dan doa, bisa jadi sebaliknya, kita dianggap “sombong”. Ketika hal tersebut terjadi, sepintar  dan seterampil apapun, jika kehendakNya bisa jadi kita akan gagap menjawab, lidah kelu. Betapa urgennya sebuah usaha dan doa sebagai bagian dari penghambaan dan tawakal padaNya.
            Berikutnya, perihal fakta beberapa orang yang telah berusaha maksimal disimpuli doa namun ternyata nilainya jeblok, kemana pola berpikir di atas? Baik, untuk kasus ini ada hal lain yang perlu diketengahkan.  Jebloknya nilai tersebut boleh jadi adalah ujian sejati. Ujian yang lebih hebat dari komprehensif. Allah ingin melihat seberapa tangguh orang-orang spesial itu. Apakah kemudian setelah kejadian itu mereka berkesah “Lah cape-cape diajar! Lah, ngadoa wen!” Ataukah sebaliknya, bertambah keimanan “Ya Allah, aku telah berusaha, berdoa penuh seluruh, jika hasilnya terdemikian, semua kupasrahkan. Syukurku padaMu, jadikan usaha itu ikhlas hanya demiMu”.
            Dalam hidup, musibah yang menimpa (misal dalam kasus ini nilai yang kecil) bisa jadi adalah anugerah. Sebaliknya anugerah bisa jadi musibah. Tergantung penyikapan. Ketika musibah diterima dengan hati lapang, sebagai bagian dari ujian, yang semakin mendekatkan padaNya, itulah sesejatinya anugerah. Sebaliknya,  sesuatu yang kita anggap anugerah jika disikapi negatif dengan rasa bangga berlebih, ujub yang meraja, bahkan takabur, itulah sesejatinya musibah.
             Pada akhirnya, dari berlembar cerita ini, satu hikmah yang semoga bisa kita reguk, adalah, usaha dan doa memegang peranan penting. Perihal hasil, nomor kesekian. Usaha dan doa adalah bagian dari prasangka baik kita terhadap ketentuanNya.  So, kompre is ok! InsyaAllah. Demikianlah Kisah Mahasiswa : Kompre Is Oke Kisah Hikmah Mahasiswa : Kompre Is Oke