Menu

11.1.16

Tugas Makalah Etika Profesi Keguruan : Nilai dan Etika

Tugas Makalah Etika Profesi Keguruan : Nilai dan Etika

Nama    : Emmie Apriani
NPM    : 2108090082
Prodi    : Bahasa Indonesia
Kelas    : 1F

1.    Hubungan Filsafat dengan Teori Nilai
Secara Etimologi filsafat berasaldari bahasa Yunani “philoshopia” yang berasal dari dua kata “philos” ( cinta ) dan “shopia” ( kebijaksanaan ) yang dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Dan teori  nilai sendiri membahas tentang dua masalah yaitu etika dan estetika. Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yaitu watak kesusilaan, yang berpangkal dari nilai baik dan buruk sedangkan estetika merupakan nilai keindahan. Bila bicara tentang hubungan antara filsafat dan teori nilai, keduanya memiliki kesamaan dalam hal penyelidikkannya khususnya etika. Etika juga merupakan filsafat praktis ( filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) atau dapat disimpulkan teori nilai merupakan cabang dari sebuah filsafat.

2.    Makna Nilai
Nilai  adalah kemampuan yang dipercaya yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Menurut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

3.    Hubungan nilai dengan Etika
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara nilai dengan etika sangatlah erat. Keduanya dapat dikatakan sebagai hubungan sebab akibat dari etika yang merupakan cabang filsafat dan nilai yang berupa ukuran baik dan buruk sebagai objek kajiannya. 

4.    Makna Etika
Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan, yang berpangkaldari nilai baik dan buruk.
Menurut Drs. O. P Simorangkir , etika menurut pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai baik.
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam Sistematika Filsafat, etika merupakan teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandangdari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
5.    Tiga Syarat Etika
Tiga syarat etika yaitu tahu, bebas  dan sadar.
 Tahu yang merupakan hal yang berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk yang  bermuara pada ganjaran. Jadi bila tahu perbuatan tersebut baik maka akan menerima pahala dan sebaliknya jika tahu perbuatan tersebut buruk maka akan menerima hukuman.
  Bebas dalam arti tidak ada peksaan dalam berbuat baik dan buruk dan bebas juga tidak hanya melihat perbuatan baik dan buruk tetapi juga alasan.
Sadar harus melekat dalam perbuatan baik dan buruk, karena tanpa adanya rasa sadar suatu perbuatan tidak dapat dinilai baik dan buruknya.
6.    Pandangan Determinisme tentang Kebebasan Manusia
Pandangan determinisme berpacu pada keteraturan maha besar, semua kejadian di dalam (dunia) berlangsungnya mengikuti hokum fisika dan metematis tunduk pada kaidah sebab-akibat.
Jadi setiap kebebasan manusia harus teratur sesuai nyang telah ditentukan Tuhan sebagai takdir.
7.    Pandangan Indeterminisme tentang Kebebasan Manusia
Pandangan indeterminisme juga mengatur kebebasan manusia sesuai dengan ketentuan Tuhan tetapi dalam pendangan ini perbuatan bebas disebabkan oleh diri sendiri.
8.    Kebebasan Manusia
Menurut saya kebebasan merupakan suatu perilaku yang telah dibawa sejak lahir,  yang juga sebagai hak asasi manusia yang telah diatur UU tentang batasannya. Tetapi setiap manusiapun memiliki kriteria sendiri tentang kebebasan, tergantung sudut pandang yang diambil oleh individunya.Tetapi setiap menusia tersebutpun tidak boleh melupakan Tuhan yang telah mengatur batasan yang hakiki terhadap manusia sebagai ciptaannya.


9.    Ukuran baik dan buruk menurut Lawrence Kohlberg
 Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958  yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya
a.Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
b. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi akonvensi sosial turan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
b. Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.]
10.    Pandangan Aliran Filsafat tentang Ukuran Baik dan Buruk
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam     menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan rapat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ni tergantung pula dari metafisika pada umumnya. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme, religiosisme dan humanisme. Sementara itu Asmaran As menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat yaitu adat kebiasaan, hedonisme, intuisi dan evolusi. Pembagian ini
tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang
mempengaruhi penentuan baik dan buruk
a.    Aliran Paragmatis
Aliran ini berpendapat bahwa baik dan buruk dilihat dari nilai kegunaannya.
b.    Aliran Hedonisme
Sesuatu perbuatan disebut baik apabila mendapat kepuasan atau kenikmatan. Sebaliknya jika tidak mendatangkan kenikmatan berarti buruk. Jadi ukuran hedonisme harus bersifat kepuasan dan kenikmatan. Hedonism dapat bersifat subjektif dan obbjektif.
c.    Aliran Utilitarisme
Pandangan yang mengukur baik dan buruk dari sisi kegunaannya. Yang berguna bersifat baik dan tidak berguna bersifat buruk.
d.    Aliran Vitaliisme
Apabila kita memiliki kekuatan untuk menguasai orang lain itu bersifat baik dan jika tidak maka bersifat buruk.
e.    Aliran sosialisme
Sesuatu disebut baik apabila masyarakat menganggap baik,jadi ukuran aliran ini tergantung dari penilaian masarakat.
f.    Aliran Religisme
Segala sesuatu ditentukan baik atau buruk berdasarkan agama.
g.    Aliran Humanisme
Sesuatu dikatakan baik dan buruk berdasarkan kodrat manusia dan terletak didalam hati.

Demikianlah Tugas Makalah Etika Profesi Keguruan : Nilai dan Etika