Esai Pendidikan : Juventus FC,
Leicester City dan Ibrah bagi Dunia Pendidikan
Prito Windiarto
Ambilah hikmah dari manapun
datangnya.
Demikian petuah bijak memberikan
kita nasihat bahwa pelajaran hidup dari manapun datangnya tak ada salahnya
diambil. Termasuk dari sepakbola. Karena itu kali ini kita akan berkaca dan
mengambil ibrah (pelajaran) dari perjalanan fantastis dua klub sepakbola
berbeda negara.
Liga-liga Eropa memang belum sampai
di akhir musim. Meski demikian, dua liga top, Liga Italia dan Liga Inggris
telah melahirkan juara. Juventus FC kembali menggenggam gelar scudetto di tanah
Pizza. Sementara Leicester City menjadi jawara di Ranah Britania. Pada dua klub
itulah kita akan belajar.
Juventus FC, klub tersukses di
Italia itu bukanlah nama asing bagi publik Indonesia. Beberapa tahun lalu
mereka mengadakan tur pramusim ke Indonesia. Klub berjuluk Si Nyonya Tua itu
adalah langganan juara liga Italia dengan lebih dari 30 scudetto. Awal musim
2015/2016 lalu mereka tetap favorit juara. Duoble winner dan status runner
up juara Liga Champions tahun sebelumnya menjadi semacam garansi.
Kepergian pemain pilar seperti
Vidal, Teves, dan Pirlo sepertinya tak akan berpengaruh dengan didtangkannya
pemain baru. Namun ternyata, pada praktiknya memberikan dampak yang signifikan.
Pekan pembuka Juventus keok. Pun beberapa laga berikutnya mereka kalah dan
seri. Posisinya melorot. Bahkan sempat di urutan 16/17. Sebuah posisi aneh bagi
klub yang karena kemasyhurannya dijuluki Kekasih Italia itu.
Kemelorotan itu menghadirkan ejekan
dan pesimistis dari berbagai pihak. Bahkan ada yang berpendapat Juventus FC akan
terpuruk hebat musim ini. Para fans sendiri was-was walau tetap mendukung
penuh. Mungkinkah gelar itu lepas?
Dukungan dari fans dan manajemen
membuat Juventus FC terpacu. Dalam Derby melawan Torino mereka menang. Dan
sejak itu mereka melaju cepat. Memperoleh 22 kemenangan dari 23 laga. Perlahan
mereka merangkak naik. Klimaksnya kemenangan atas SSC Napoli mengantar mereka
ke puncak klasemen. Bahkan beberapa pekan berikutnya mereka memastikan diri
menjadi juara setelah raihan poin yang dimiliki takan mampu dikejar klub
terdekat. Scudetto kelima beruntun mereka raih.
Ibrah dari kisah perjalanan Juventus
FC musim ini adalah tentang perjuangan untuk bangkit. Kita tak mungkin ada di
performa 100 % selamanya. Ada saat kita terpuruk. Ada masa kita jatuh. Itu hal wajar dan manusiawi. Yang tak boleh itu
berkubang dalam keterpururkan. Boleh melorot sebentar untuk kemudian melompat
lebih tinggi. Belajarlah dari Juventus FC, suara-suara miring mereka jadikan
amunisi untuk buktikan. Tak mengapa diri terhempas sejenak, namun berikutnya
harus bisa melaju cepat. Tak apalah
sekali waktu nilai kita terjun, namun jangan biarkan itu berlangsung lama,
kejar lagi dapatkan nilai baik lagi.
Berikutnya Leicester City. Awal
musim 2015/ 2016 ini nama klub yang bermarkas di King Power Stadium ini agak asing di telinga kita. Maklum saja
mereka bukan klub elit. Musim sebelumnya mereka hampir saja terdegradasi. Situs
taruhan memberikan kemungkinan mereka menjadi juara dengan koofisien 1:5000.
Sangat jauh. Awal musim mereka sudah memberika gebrakan dengan memenangkan
beberapa laga. Saat itu orang-orang menyebutnya sebagai kebetulan. Kebetulan
lawannya sedang sial, dll.
Ajaibnya keajaiban-keajaiban itu
terus terjadi. Klub semacam MU, Chelsea, Arsenal, Man. City malah terlihat kesulitan
dalam mengarungi liga. Di pertengahan musim justru nama Leicester City dan Tottenham
Hotspur yang mencuat. Dua semenjana yang menghentak.
Singkatnya, pekan ini, setelah Spurs
ditahan imbang Chelsea, Leicester City ditahbiskan sebagai juara baru Liga
Primer Inggris karena poin yang dikumpulkan takkan mungkin lagi dikejar sang
pesaing Tottenham Hotspur. Klub asuhan Claudio Reineri ini menggenggam juara
perdananya sejak klub berdiri 132 tahun lalu.
Ibrah dari perjalanan klub
yang diibaratkan oleh Presiden FIFA sebagai sebuah dongeng ini salah satunya adalah
pentingnya kerja keras dan kerja sama. Leicester City bukanlah klub berlinang
uang. ‘Harga’ total semua pemainnya senilai harga seorang pemain Man. City,
Kevin De Bruyne. Lantas aApa yang mereka miliki? Kekompakan dan kerja sama tim
yang baik.
Ibrah berikutnya adalah
tentang kenyataan bahwa tak ada yang tidak mungkin. Bayangkan klub yang tidak
punya skuad mentereng ini bisa mengalahkan nama besar. Keterbatasan yang
dimiliki jika dikelola dengan baik dapat mengalahkan kemapanan.
Sekali lagi, dari kedua klub itu
kita belajar tentang prinsip zero to hero. Perjalanan Juventus FC tahun
ini mengajarkan kita tentang pentingnya bangkit setelah keterpurukan. Leicester
City memberikan kita bukti bahwa kerja keras dan kerjasama itu urgen. Lebih
dari itu mereka mengajarkan bahwa kesederhanaan bisa menjadi senjata yang kuat.
Tak boleh takut. Tak boleh minder. Dongeng Leicester City tidak hanya berlaku
di dunia sepak bola, ia sangat mungkin terjadi pada aspek lainnya. Termasuk di
ranah pendidikan.
Mari kita ambil ibrah dari
mereka.
**
Prito
Windiarto, pengajar di Ganesha Operation Banjar. Pengampu www. pelajaranbahasaindonesia.com. Penulis Buku Menjadi Remaja Berjuta Pesona . Demikianlah Esai Pendidikan : Juventus FC, Leicester City dan Ibrah bagi Dunia Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar