Bismillahirrahmanirrahim
Baiklah.
To the point ya. Menurut hemat saya, pelajaran Mahfuzhat adalah
salah satu hal yang membedakan pondok Modern dengan sekolah umum,
aliyah, maupun pondok lain. Mahfuzhot yang merupakan kutipan-kutipan
pepatah Arab merupakan salah satu keunikan tersendiri. Memang benar
di sekolah/pesantren lain juga suka diajarkan perihal pepatah bijak,
tapi apakah mereka membakukannya dalam pelajaran khusus? Saya rasa
tidak (atau belum).
Kalaupun
ada biasanya terintegrasikan dengan pelajaran lain. Tidak salah
memang. Tapi, menurut saya tetap lebih mantap jikalau diajarkan dalam
pelajaran khusus. Dengan adanya jam/mata pelajaran khusus maka aka
nada kesempatan untuk mengeksplorlebih kata bijak itu.
Bahkan,
tentu saja ada kesempatan untuk menghafalkannya. Silakan cek, saya
rasa alumni pondok modern, bagaimanapun, ia “pasti” hafal minimal
1 atau 2 mahfuzot. Kenapa itu terjadi? Tak lain, karena di mata
pelajaran mahfuzhot para santri diwajibkan menghafalkannya. Jua
terutama mengerti makna yang terkandung di dalamnya.
Nah,
kata bijak yang dikutip dalam pelajaran mahfuzhot tentu saja bukan
sembarang. Ia melewati seleksi oleh para syuyukh dulu. Pun, bebrepa
mahfuzhot tersebut berasal dari para ulama sekaliber Imam Ali Ra,
Imam Syafii, Muntanabi, dll. Walau tentu saja kebenarannya tidak
mutlak, karena mereka bukan al ma’sum. Tapi bagaimanapun, mereka
adalah orang-orang yang alim dan sudah makan asam garam kehidupan.
Apa yang mereka ungkapkan adalah sejernih mata air ilmu.
Nah,
menurut saya pembelajaran mahfuzhot ini merupakan salah satu sarana
penanaman karakter yang efektif. Ketika mereka berjuang, ada semacam
“mantra” yang kemudian dipekikan. Kisah Alif Fikri (Ahmad Fuadi)
dalam Trilogi Negeri 5 Menara kiranya bisa menjadi bukti nyata. Pun,
kisah alumni DH (Temannya ustadz Sofwan) yang konon menjadikan
mahfuzhot sebagai penyemangat hidupnya.
Nah,
demikian dulu ya analisis yang tumpul dan acak adut ini. Hehe. Ini
sekedar respon atas wacana dihilangkannya pelajaran Mahfuzhot dalam
“kurikulum” beberapa pondok modern. Amat disayangkan menurut saya
jika “cirri khas” ini kemudian dinihilkan. Ini sekedar saran dari
pribadi yang banyak kekurangan, mohon maklum.
Prito
Windiarto, Alumni PPM Darul Huda, Banjar, 2009. Alumni Ponpes
Arrahmaniyyah, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar