Yang Tak Disangka (2)
By Prito Windiarto
Gundah gulana. Aku hanya bisa membolak balik badan di atas kasur. Kamar terasa gerah. Jam dinding menunjuk angka 01.00 dini hari. Kuedarkan pandangan. Dua foto tergeletak di atas meja, aku bergegas mengambil keduanya. Menatap lekat dua wajah di foto : Dafa dan Faris. Dua lelaki dengan kepribadian berbeda. Dafa, lekaki tampan nan tajir, low profile tapi kadang urakan, atletis dan setia. Sementara Faris, sederhana, cerdas, sholeh, tak terlalu tampan tapi bermata elang. Aaaaggghhh! Kepalaku berpendar, sedikit limbung. Ini klimaks, titik nadir! Sejujurnya aku ingin bercerita pada Mama Naya, tapi tak enak sudah larut. Aku beringsut menuju kamar mandi, berwudhu. Biar kuadukan semua padaNya.
***
“Woi, Bu Hamidah, tunggu!” seseorang memanggilku, aku menoleh.
“Bila?”
“Iya Bu Guru, Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Jangan panggil Bu Guru atuh!” protesku sembari cipika-cipiki dengan sahabat lamaku itu.
“Bagaimana Unsil, Bila?” tanyaku penasaran.
“Baik Hami, seperti biasa. Wah hebat ya bisa ngajar di SMA 1 begini!”
“Alhamdulillah, tapi ya ga ada apa-apanya dibanding Bu Dosen Salsabila mah!”
“Yey, baru Asdos tau!” ia mengerling.
“Yu ah kita ngobrol di kantin, kebetulan jam ngajarku kosong. Eh Btw tumben ke sini?”
“He he, maaf deh baru ke sini, lumayan sibuk sih. Ya sekarang rencananya mau silaturahim sekalian menyampaikan amanah.”
“Amanah? Apa?”
“Saya jelaskan di kantin deh ya!” ajaknya.
Kami beriringan menuju kantin khusus guru. Salsabila adalah sahabat sekelasku dulu di prodi pendidikan ekonomi Unsil. Ia cerdas dan sholehah. Jilbab lebarnya melambai-lampai, membuatku iri.
“Kau masih ingat kang Faris, Hami?” Bila langsung to the point.
“Iya, masih. Anggota KI Unsil kan, yang jadi ketua pelaksana KI DAYS? Jawabku menyocos.
“Yusp, Alhamdulillah kalau masih ingat. Jadi begini… bla blab la…” Bila menjelaskan panjang lebar, intinya Faris ingin taaruf denganku. Aku tersedak, benarkah? Pria sholeh seperti dirinya ingin taaruf denganku, is this really? Hem… walau setengah tak percaya, aku tak kuasa menolak atau menerima langsung. “Tunggu keputusanku seminggu kemudian,” pintaku pada Bila. Ia mengangguk. Kami berpamitan. Ia menitipkan foto dan biodata Faris untuk aku pelajari.
Selang lima belas menit sebuah mobil Avanza mendekat.
“Hey Bu Hami, bareng yu!” seseorang menyapa dari dalam mobil, ternyata Dafa.
“Nga usah, saya naik angkot saja!”
“Ayolah, takkan apa-apa, kita tak berduaan ini, itu ada adikku Anisah !” Anisah membukakan kaca mobil.
“Ayo teh Hami!” ajaknya. Dafa keluar kemudian membukakan pintu mobil untukku, Takjim. Aku luluh.
***
Aku bersimpuh di atas sejadah. Dua wajah itu berkelebat manja. Faris, Dafa.
Faris, aku mengenalnya pertama kali di Acara KI Days. Aku yang waktu itu merupakan reporter Pers Kampus ditugasi meliput acara. Mau tak mau, demi tugas aku harus menemui sang ketua panitia yang ternyata Faris. Wajahnya memancar karisma, terlihat kaku, pendiam, tapi sejatinya friendly juga. Dia mahasiswa Prodi Bahasa Inggris. Jujur aku tak terlampu kenal dengannya. Yang pasti aku sering melihatnya membersihkan masjid kampus. Ia garin di sana.
Dafa, tipe pria idaman : tampan, tajir, perhatian nan romantis. Ia teman satu prodi. Sejak semester pertama ia mendekatiku. Bersama 12 orang lain ia menjadi fans berat alias Secret Admirer-ku. Sedari awal aku menolak ajakan mereka. Aku tak mau pacaran. Sudah terlampau banyak dosa kubuat, masakah harus kutambah-tambah. Jujur… sejatinya aku kewalahan juga menghadapi para secret admirer itu. Bagaimanapun aku seperti wanita biasa umumnya tertarik pada satu dua dari mereka, termasuk Dafa. Untunglah dukungan, nasihat dan motifasi SalsaBila meneguhkanku. Perlahan Secret Admirer itu mundur, walau tak jarang menyumpahiku dulu : sok suci, munafik, so iye, jual mahal dll. Kecuali Dafa, selama lima tahun ini ia setia menungguku kesediaanku. Haduh…. Pusing… pusing….
***
“Dinda, subuh, bangun! Sudah adzan tuh!” lamat terdengar suara seseorang mencoba membangunkan. Aku menggeliat, membuka mata perlahan. samar kulihat sesosok wajah tirus, berbaju koko, berkopiah hitam.
“Kanda ke masjid dulu ya.” Ia ngeloyor. Aku terkesiap, buru-buru bangun. Kemudian sholat dan mempersiapkan segala sesuatu menyambut hari. Hwa, dasar Hami, sudah jadi ibu rumah tangga saja masih ngoyo. Hoam.
Mentari menyemburat. Sup jamur mengeput. Kanda siap-sipa berangkat.
“Yu hu, enak nih kayanya” ia mendekati meja makan.
“Pastinya, Hamidah gitu lho!”
“Iya deh, istrinya Faris Ramdan emang jempolan” ia mendekatiku, mengecup kening berucap terima kasih.
“Oh ya Kanda, nanti jadi kan ikut mengantar Dafa melamar Bila?”
“InsyaAllah. Eh Btw bakal diterma ga ya? Hehe.”
“Diterima dong, ketika taarufan saja sinyalnya udah kenceng banget!”
“Kenceng? Weleh-weleh ada-ada saja Dinda ini!”
“Hem… ga pernah nyangka ya, selama ini mereka menyimpan “rasa”. Ternyata Dafa mendekatiku sejatinya demi mendekati Bila”
“Hehe iya ya, tak disangka, seperti kisah kita juga.”
“Bener-bener, ko Kanda mau-maunya sih nikah sama Dinda?
“Em karena Dinda cantik, baik, perhatian, pintar masak, banyak deh” Kanda Faris memujiku, aku tersipu.
“Tuh kan bener, rekahan senyum Dinda manis sekali!”
“Beneran? Tapi alasan utamanya apa? Dinda kan badung, urakan dan sedikit tomboy .“
“Justru itu kelebihan. Dinda easy going, semangat, lincah, riang dan optimis. Dulu waktu latihan volley Kanda diam-diam suka memperhatikan Dinda lho, ceria banget!”
“Apa? Huh Kanda jahat, ga bilang-bilang”
Kanda hanya tersenyum, menatapku lekat. Duh… mata elangnya benar-benar menyihirku. Diam-diam aku juga mengaguminya, sedari dulu.
“Kau tahu Dinda, kenapa kanda memilihmu, dan tidak memilih yang lain? Itu karena Kanda terpesona keceriaan dan keriangan Dinda. Kanda orangnya pendiam banget, kikuk. dingin, kaku. Jadi Kanda ingin belajar banyak hal dari Dinda”
Ia menggenggam jemariku lembut. Aku tertegun. Ya ampun. Ia ingin belajar dariku? Apa tak salah dengar? Benar-benar tak disangka.
“Udah ah, makan dulu, entar kesiangan lagi!” aku tersenyum, menatap sekilas semburat matahari yang menelusup lewat jendela rumah kontrakan kami.
Aku setuju. Hidup sejatinya kadang berupa kumpulan kejadian-kejadian tak disangka. Seperti bayi di rahimku ini. Alhamdulillah, menurut hasil USG mereka kembar. Hal yang tak kuduga, tapi aku bahagia karenanya.
“Hey, cantik! kenapa menatapku begitu, ayo makan, biar dua jagoan di rahimmu itu sehat, ayo sayang!”
Ia menyodorkan sesuap nasi. Aku melahap takjim. Kami tersenyum simpul. Manisss sekali!
Rukre. 8.7.11
***
#Fiksi mini ini terinspirasi dari cerpen berjudul sama (Yang Tak Disangka) karya ukhti Endah Marisye dalam kumcer “Pohon Keberuntungan” Yang ingin baca : pinjam atau beli, silakan hubungi Prito, ye… promosi.
#fiksi mini bersahaja ini saya persembahkan sebagai kado pernikahan Ukh Rena & Ust Yana, semoga berkah, dan menjadi keluarga SAMARA. Aamiin.
#mohon maaf jika sahabat sekalian menemukan hal2, yg mungkin tidak sesuai syara'. Toh sy tidak melabeli nya sebagai fiksi islami, tidak. #mhn maaf jg jika ada yg kurang berkenan dg untai cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar