28.4.14

MODEL PEMBELAJARAN SASTRA



MODEL PEMBELAJARAN SASTRA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Sastra









Oleh :
Prito Windiarto
2108090225



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS GALUH CIAMIS

2011
MODEL PEMBELAJARAN SASTRA
Nama Sekolah : MA Darul Huda
Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : X/1
Alokasi Waktu : 2× 45 menit

  1. Standar Kompetensi
Berbicara
6. Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi

  1. Kompetensi Dasar
6.2. Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi

  1. Indikator
  1. Menemukan nilai-nilai dalam cerpen
  2. Membandingkan nilai-nilai yaang terdapat dalam cerita pendek dengan kehidupan sehari-hari
  3. Mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen

  1. Tujuan Pembelajaran
  1. Siswa mampu menemukan nilai-nilai dalam cerpen
  2. Siswa dapat membandingkan nilai-nilai yaang terdapat dalam cerita pendek dengan kehidupan sehari-hari
  3. Siswa mampu mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen
  1. Materi Pokok

Saat selesai membaca cerpen, mungkin Anda pernah merasakan ada nilai-nilai yang sesuai untuk dijalankan dalam keseharian. Itu kerjadi karena cerpen merupakan cerita fiksi/rekaan yang menggambarkan sebagian kecil dari kehidupan seseorang. Cerita pendek tidak hanya berisi rangkaian peristiwa. Ada hal penting yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Dalam cerpen seorang pengarang kadang menampilkan nilai-nilai kehidupan yanga ada dalam masyarakat. Hal tersebut dihadapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman hidup pembaca. Pembaca menjadi lebih arif dan bijaksana dalam kehidupan sekitar. Nilai kehidupan dalam cerpen melalui ucapan, tindakan, pikiran dan perasaan tokoh-tokoh cerita. Nilai-nilai tersebut melalui nilai moral, budaya, agama, etika, kasih sayang, pendidikan, persahabatan, patriotisme, religius dan kemanusiaan.

Wujud moral dalam karya fiksi dapat berupa :
  1. hubungan manusia dengan dirinya sendiri ;
  2. hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial ;
  3. hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya ;
  4. hubungan manusia dengan Tuhannya
(sumber buku paket dan www.themahir.blogspot.com)
Sekarang simak cerpen berikut “sebuah kata rahasia” berikut ini :

Sebuah Kata Rahasia
Penulis: Tetsuko Eika

Aku suka menunggu. Menunggu hadirnya sebuah kata termanis yang belum pernah kudengar. Dan, menunggu itu adalah kegemaranku. Bukan berarti aku adalah orang yang penyabar. BUKAN! Tapi, ini adalah sebuah rutinitas penting yang jika tidak kulakukan, aku bisa mati. Mati dengan tragis sambil berlinangan air mata.
Jam lima,” desahku pelan. Secangkir kopi cappuccino tersaji dengan hangat di depanku. Aromanya yang khas, dengan taburan biji almon juga cokelat parut membuatku mulai tak bergeming. Tak Bergeming untuk meneteskan air liur dan menyeruput cangkir bermotifkan bunga tulip itu dalam-dalam. “Sampai kapan aku harus bersabar?” desahku lagi, kali ini aku bertanya dalam hati. Namun, sayang, tak ada jawaban yang muncul dari impuls-impuls otakku sendiri.
Sungguh lama.” Aku mulai geram. Kuraih remote teve, dan kunyalakan teve. Dan, Pipp…suara power televisi menyala. Kulihat sebuah iklan shampo masuk ke dalam dua biji mataku, aku menggigit bibir mungilku. Kumatikan televisi dengan cepat. Bibirku berdecit: “Aku benci iklan!”
***
Setiap hari aku berjemur di antara pohon ek, juga pohon delima yang tumbuh tinggi di halaman rumah. Kata orang-orang, berjemur itu bisa membantu menghangatkan tulang-tulangku yang selalu linu, dan aku menurut saja dengan pernyataan itu. Aku pun selalu merapikan bunga-bunga yang daun-daunnya menguning, dan itu adalah aktivitas rutinku. Lalu, aku menyiram tanaman, mencabuti rumput, meraih belukar yang merambat di antara pagar besi berpola mozaik nephal dengan gundah. Dan, pasti kalian mengira kalau aku ini pembantu, iya kan? Aku tegaskan, aku ini bukan pembantu!
Aku hanya patung, sekaligus robot yang tengah menunggu. Itu saja. Yang, setiap harinya aku harus meladeni ocehan dua cucuku yang usil. Mitha dan Jemy. Aku menganggap mereka seperti tikus, karena mereka makan apapun yang ada di tangannya. Pernah, suatu hari aku mendapati Jemy tengah asyik memakan cacing ketika aku sedang menanam sawi putih di belakang rumah. Aku menarik cacing kotor di jemari mungilnya, namun Jemy menangis. Ia berteriak-teriak sambil berlari tak karuan. Lalu mengadu pada anakku. Usia Jemy yang belum genap dua tahun membuatku harus ekstra sabar, juga ekstra menunggu. Menunggu sampai saat aku tak harus menunggu dia lagi.
***
Gak usah dikasih gula ya, Bu!”
Kudengar anakku, Riema, bersuara di balik tirai ruang tengah. Dan, aku langsung pergi, yah… ke dapur. Tempatku bekerja. Bukan untuk menyuruh pembantu membuatkan teh melati tanpa gula, tapi untuk membuatkan teh itu sendiri oleh jari-jariku. Jari-jariku yang kata orang sudah mulai keriput, kasar dan berurat. Namun, aku tersenyum dan lekas meraih gelas langsing di balik lemari dapur dan meraih teh serbuk dari Cina. Aku mulai mengaduk campuran teh impor itu dengan air hangat yang kujerang sendiri. Aku menghela napas. Lalu memunculkan senyum termegah pada anakku. Anakku yang super sibuk. Dan, sekali lagi… kutegaskan, aku bukanlah pembantu!
Saat yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika sore telah datang, karena saat itu aku bisa meremajakan kulitku yang tegang dengan menghirup sejuknya udara di balik bunga dandelion yang tertiup mesra. Aku selalu menarik tubuhku ke dalam aura menyegarkan bersama ikan-ikan koi yang berenang hilir mudik tak tentu arah. Aku selalu menyibak-nyibakkan air itu ke kakiku yang kata orang kakiku ini sudah mulai melemah, namun sebaliknya, aku merasa kakiku sungguh segar, tidak loyo dan aku merasa tak tampak tua. Sedikit pun. Meskipun banyak orang berkata bahwa aku ini sudah siap untuk mati.
Dan, saat yang paling membahagiakanku adalah ketika aku bisa duduk dengan nyaman di samping perapian sambil membaca buku. Ketika semua tak ada di sampingku. Tak ada Jemy, Mitha, Riema, juga suami Belandanya yang selalu naik pesawat demi bisnis hebohnya. Yah, aku suka saat-saat mataku terpejam sambil meniup paru-paruku sendiri dengan oksigen. Lembut sekali rasanya…
Namun, itu bohong! Aku malah tidak menyukai jika aku bersantai dan berleha-leha... aku lebih suka sibuk bekerja di rumah, mengepel, menyeterika, menyiapkan sarapan pagi juga membantu Jemy gosok gigi.
***
Ibu, bisakah Ibu buatkan nasi goreng?”
Riema memanggilku ketika aku baru saja terbangun dari mimpiku. Aku mengusap mataku, lalu segera bangkit. Yah, menuju dapur. Tempat teristimewa yang kumiliki. Tempat paling indah yang dapat membuat Riema, putriku itu tumbuh dengan sehat.
Tunggu sepuluh menit lagi, Sayang!” balasku. Dan, aku tersenyum. Bahagia sekali. Karena aku bisa berguna. Hingga air mataku bercucuran.
Ketika nasi goreng itu tersaji di meja makan, aku melihat menantuku tersenyum bangga kepadaku, tak lupa Riema juga. Ia tampak jauh lebih cantik dengan senyum megahnya yang hebat. Lalu, aku pergi. Untuk mencipratkan air ke wajah, kaki, lenganku dan alat-alat pergerakanku untuk bersujud. Berterima kasih pada Tuhan karena aku memiliki semuanya. Meski ada yang kurang, hanya satu saja. Dan itu rahasia.
***
Setiap setahun sekali aku pergi bersama keluarga anakku untuk menjenguk jasad suamiku yang tertutup tanah merah dengan nisan bertuliskan Rudy Santosa. Aku selalu mendoakan suamiku yang telah kabur dari dunia ini. Kabur dengan sekejap tanpa bicara apapun kalau ia akan pergi selamanya. Namun, aku selalu berbahagia, karena inilah yang terbaik. Meskipun, aku selalu harus menunggu. Dengan malas. Capek. Yang sebenarnya rasa malasku, capekku, adalah bohong! Hanya hati jahatku yang berkata bahwa aku tidak menikmati ini semua. Dan, hanya jiwa asliku saja yang berkata bahwa: “Aku mencintai semuanya.”
Dua hari setelah aku pergi berziarah ke makam suamiku, aku mendapati Mitha tergolek dengan lemas. Ia muntah-muntah. Aku bingung. Karena aku hanyalah robot yang merangkap menjadi patung. Yang hanya menunggu semua berjalan bagai waktu. Menunggu hadirnya kata tabu dalam hidupku. Tapi, segera kutepis pengharapan kata itu. Dengan sigap kuraih tubuh gempal cucuku dengan langkahku yang tertatih-tatih. Menuju klinik kesehatan terdekat. Aku menangis, ketika Mitha kecilku harus disuntik. Ia meraung-raung. Sambil memanggil ibunya…
Ibu…ibu…ibu.” Itu kumpulan kata yang kudengar dari mulut kecil cucu pertamaku. Dan, entah mengapa… dadaku tiba-tiba sangat sesak. Aku berkata dalam hati: “Mengapa engkau tak menyebut namaku?”
Lima belas tahun tinggal di sebuah rumah yang megah membuatku cukup kerepotan. Aku jadi semakin sulit untuk meraih belukar yang selalu saja tumbuh subur di pagar mozaik nephal. Aku pun semakin sulit untuk berkebun, menyiram bunga-bunga tulip, dan mencabuti rumput. Dan, entahlah, rasanya ada sengatan listrik di punggungku ketika aku harus membungkuk untuk menanam sawi putih ataupun tomat jepang. Aku sekarang lebih banyak duduk di kursi goyang; memperhatikan dua cucuku yang sudah tumbuh menjadi remaja. Mitha yang cantik, ia tumbuh dengan bola mata yang indah dan menawan, rambutnya pun lebat, kulitnya putih bersih dan memiliki pesona senyum yang begitu dahsyat. Juga Jemy, ia pun memiliki tubuh yang kuat, kekar dan wajah yang tampan seperti ayahnya. Aku selalu bersyukur. Memiliki semuanya. Meskipun ada satu hal yang aku tak punya. Dan, itu rahasia.
Nek, buatkan aku jus ya! Sepuluh gelas! Teman-temanku mau datang. Please ya, Nek!” Mitha memohon padaku. Dan, aku membalas permintaannya dengan puluhan langkahku yang entah mengapa terasa sangat berat. Tapi, aku senang. Bisa membantu semuanya, dan membuat semua tampak lebih baik. Meskipun aku harus menunggu. Menunggu agar aku tak harus menunggu lagi.
Baiklah, Manis..” balasku ramah. Dan kreeekkk…
Kurasakan tulang punggungku gemeretak. Seperti suara kemasan air mineral yang tergilas ban mobil. Sakit sekali.
Ketika sepuluh gelas jus terhidang di meja. Mitha tersenyum pada kesepuluh teman-temannya. Dan, ia melupakan satu hal. Ia lupa tersenyum kepadaku. Tapi, tak apalah…aku tak butuh itu. Yang kubutahkan hanyalah satu…dan, itu rahasia. Sangat rahasia. Juga tak terlalu penting.
***
Ketika usiaku mendekati delapan puluh tahun, hampir lebih dari setengah bulan setiap tahunnya aku sendirian di rumah. Tak ada Mitha, Jemy, Riema, juga suaminya untuk menemani masa tuaku yang kata orang begitu menyedihkan dan kurang kasih sayang. Keluargaku pergi keluar negeri, pergi ke Belanda. Dan, menetap di sana, di negara menantuku yang sungguh asing. Dan, aku sendirian. Entahlah, banyak hal yang mereka katakan padaku mengenai kepergian mereka ke negeri kincir angin itu. Mereka pergi untuk bisnis, edukasi, traveling, bahkan shopping. Dan, jadilah aku seorang diri yang bisa mencium udara senja sambil mengibaskan kesepianku yang muncul dengan drastis.
Dan, kembali dadaku terusik untuk mengungkapkan satu hal saja. Namun, itu begitu rahasia untuk kuungkapkan.
Usiaku semakin menanjak dalam kebisuan dan kesendirian diantara rumah mewah. Aku terpaksa memanggil tukang kebun untuk membantuku menyiram tanaman, mencabuti belukar juga merawat bunga tulip kesayangan Riema. Dan, terpaksa pula aku mempekerjakan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun untuk membantuku menghidangkan bubur untuk kusantap. Dan, semua terasa begitu cepat berlalu. Aku menua, lemah, dan hampir mati. Dan kata orang, aku hidup tanpa kasih sayang.
Susi, bisa bantu aku?” Aku memanggil pembantu kecilku yang putus sekolah untuk membawaku ke halaman belakang rumah. Dengan sigap Susi datang dan tersenyum ramah. Ia lalu mendorong kursi roda yang di atasnya terduduk seonggok daging tua yang lemah. Itu aku.
Mau ke mana, Nek?” tanya Susi.
Mencium wangi angin sore di antara bunga dandelion,” balasku pelan. Dan, roda pun melaju. Dua tangan kecil Susi tampak susah payah mendorong tubuhku melewati dua puluh anak tangga menuju halaman belakang rumah. Sesampainya aku di halaman belakang rumah, Susi berbisik padaku. “Kubawakan teh ya, Nek” Aku mengangguk dan Susi pun berlari menuju dapur.
***
Riema adalah putriku satu-satunya. Ia manis. Semanis gula India. Dan, aku begitu sayang padanya. Rasa sayangku semakin memuncak ketika aku memiliki dua cucu yang sehat dan istimewa. Jemy dan Mitha adalah pelita masa tuaku. Aku selalu senang. Meskipun aku harus menunggu. Namun, memberi warna dalam hidup mereka bisa membuatku melupakan sebuah kata yang rahasia, yang kuanggap begitu tabu untuk kudengar oleh dua telinga yang keriput ini.
Yah, bisa melupakan sebuah kata rahasia merupakan momen yang paling berharga dalam hidupku. Namun, semua itu tak mampu kutahan sampai saat aku tak mampu lagi menyimpan keinginan mendengar satu kata yang rahasia itu. Pada sebuah sore, bersama angin dandelion… aku berharap kata itu hadir dan mengalir di telingaku dari Riema, Mitha, Jemy. Orang-orang terkasihku.
***
Nek, ini tehnya.” Susi menyodorkan secangkir teh wangi kepadaku. Aku tersenyum. Susi pun tersipu, ia lalu menunjuk deretan bunga dandelion yang tumbuh subur di sampingku. “Bolehkah aku meniup setangkai bunga dandelion untukmmu, Nek?” Aku mengangguk. Lalu, Susi meraih bunga dandelion dan meniupnya. Kulihat matanya terpejam ketika helaian ringan dandelion terempas angin sore dengan mesra. Ia langsung menatapku dan memegang lembut jemariku. “Terima kasih karena telah mengizinkanku meniup dandelion ini untukmu, Nek.”
Aku terperanjat…!
Mendengar kata-katanya, dadaku tiba-tiba berguncang dengan hebat, karena sebuah kata yang kugaris bawahi dalam hati, aku seakan tengah merebus jantungku hingga hampir meledak. Oh Tuhan, tiba-tiba aku merasa sungguh berarti dalam hidup ini. Dan merasa dihargai. Sebuah kata yang terlontar dari bibir kecil Susi membuatku mampu menyibak kata rahasia yang selalu kupendam dalam hati. Terima kasih. Hanya itu. kata rahasia yang ingin sekali kudengar dari bibir Riema, Mitha juga Jemy. Pelita hidupku.
Seandainya angin bisa bergerak bagai cahaya, ingin sekali kutitip satu permintaan untuk mereka.
Cukup satu kata saja…sayang!” Untuk semua kasih sayangku selama ini.
*****(Sumber Antologi Cerpen “Sebuah kata rahasia” 2010 hal 1-10)

  1. Metode Pembelajaran
  1. Deskripsi
  2. Demonstrasi
  3. Diskusi
  4. Penugasan
  1. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan
Waktu
  • Kegiatan Awal
  • Guru memasuki kelas dan mengondisikan kelas.
  • Guru memimpin doa dan mengucapkan salam.
  • Guru mengulas kembali pembelajaran yang telah lalu dengan mengajukan pertanyaan, misal :
  1. Sebutkan unsur intrinsik cerpen?
  • Apersepsi.
  • Menyampaikan tujuan pembelajaran
  • Guru membagi siswa menjadi empat kelompok
15 Menit
  • Kegiatan Inti
  • Guru mendeskripsikan materi pembelajaran
  • Guru mempersilakan perwakilan kelompok untuk membacakan cerpen yang telah ditentukan
  • Siswa mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut (antar kelompok)
  • Siswa (perwakilan kelompok) melaporkan hasil diskusi baik secara lisan maupun tulisan
60 Menit
  • Penutup
  • Siswa bersama guru melakukan refleksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan.
  • Guru membimbing siswa untuk menyimpulkan hasil pembelajaran
  • Memberikan penguatan dan tindak lanjut dengan pemberian tugas
15 Menit

  1. Sumber Belajar
  1. Antologi Cerpen “Sebuah Kata Rahasia" halaman 1-10
  2. Buku paket bahasa indonesia kelas x
  3. Internet (www.themahir.blogspot.com)
  1. Penilaian
  1. Jenis tagihan
    1. Tugas individu
    2. Tugas kelompok
  1. Bentuk instrument
  1. Performansi
  • Uji kompetensi
  1. Soal
  1. Temukanlah nilai-nilai dalam cerpen “Sebuah Kata Rahasia”!
  2. Bandingkanlah nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen “Sebuah Kata Rahasia” dengan kehidupan sehari-hari.
  3. Diskusikanlah nilai-nilai yang terdapat dalam ceepen “Sebuah Kata Rahasia”!
  1. Jawaban terlampir
Rublik Penilaian
Mengenai aktivitas siswa dalam kelompoknya selama kegiatan pembelajaran dengan berpedoman pada format berikut :
Kelompok
Nilai-nilai yang ditemukan
Alasan
Skor
I






II






III






IV







No
Nama Siswa/Kelompok
Aspek yang dinilai
Jumlah skor
Nilai


Kerjasama
0-30
Keseriusan
0-30
Penggunaan kata 0-40


1.












2.












3.













Format Observasi
No
Nama siswa
Keseriusan
Kerjasama
Keberanian
Keaktifan




5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
1.










































2.










































Keterangan :
Sangat Baik = 5
Baik = 4
Cukup = 3
Kurang = 2
Sangat Kurang = 1
Penghitungan nilai akhir
Nilai akhir = Perolehan skor
× Skor ideal 100
Skor maks
Mengetahui,
Kepala MA Darul Huda


______________
NIP____________

Cilacap, 5 April 2011
Guru Mata Pelajaran


Prito Windiarto
NIM 2108090225

Lampiran Jawaban
1. Nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen “sebuah kata rahasia” :
a. Nilai Agama : Sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan pertolongan orang lain sudah selayaknya berkerimakasih kepada orang lain atas kebaikan yang telah diberikan sebagai manifestasi rasa syukur padaNya
b. Nilai Budaya : Semakin lunturnya budaya memberikan penghargaan (berterimaksih) terutama dalam kehidupan masyarakat kota.
c. Nilai Moral : 1) Kekayaan, kemewahan bukan hal mutlak yang menjamin kebahagiaan seseorang. 2) Bagiamanapun seseorang terlebih orangt tua temtu mengharapkan penghargaan dari anak cucunya walau sekedar ucapan termaksih yang tulus. 3) Terima kasih, sebuah ucapan sederhana namun begitu bermakna. Kadang kita lupa betapa berharganya sebuah ucapan terimakasih. Karena itu mari berterimaksihlah atas segala kebaikan yang kita terima.

2. Kalau kita perhatikan nilai-nilai dalam cerpen “Sebuah Kata Rahasia” relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Diamana budaya memberi penghargaan (terima kasih) semakin luntuh di tengah masyarakat (kota) terganti dengan budaya materialistik, segala sesuatu berdasarkan materi. Orang merasa cukup memberi materi (uang) sebagai imbalan pekerjaan tanpa perlu berucap terima kasih.
3. Praktik

Tidak ada komentar:

Info CPNS PPPK 2019 & Pelajaran Bahasa Indonesia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...