5.1.16

Contoh Cerpen Persahabatan Remaja : Padang Ilalang yang Hilang



Contoh Cerpen Persahabatan Remaja : Padang Ilalang yang Hilang
                       
Prito Windiarto*

            Hah…..hah…..hah….. Aku tersengal kelelahan, kuseka keringat di dahi dengan sapu tangan kumal. Di sebelah kananku Jhoni sedang mengibas-ngibaskan daun karet ketubuhnya, di kiriku Herman menyandar pada pohon karet besar sambil meregangkan kaki dan tangannya.
            “Aduh capek euy!” keluhku memecah keheningan.
“Sama,” seru Jhoni dan Herman bersamaan.
 “Untung karungnya udah penuh ya, aku udah gak kuat lagi nih, punyamu udah penuh belum?” tanyaku pada Herman.
“Udah dong,” jawabnya.
 “Aku juga.” Herman menyela.
            “Ya udah deh kita istirahat disini dulu, oh ya  nasi timbelnya mana?” desakku pada Herman yang kali ini mendapat giliran membawa nasi timbel.
“Eng ing eng, sim salabim ada kadabra, ini dia!” Herman mengeluarkan nasi timbel dan lauknya, ikan asin goreng.

***
            Seperti biasa, setiap hari ahad pagi kami bertiga biasa menyusuri area perkebunan karet milik PT Perkebunan Negara (PT PN IX) mengambil rumput untuk ternak kami, membantu meringankan beban orang tua. Setelah karung penuh terisi kami biasa berteduh di bawah pohon karet besar dan rindang ini. Di hadapan kami terbentang perkebunan karet yang luas, di kanan kiri rerumputan tumbuh dengan subur, hijau, pakan empuk ternak kami.
            Selepas  makan, entah kenana tiba-tiba Herman menanyai kami.
 “Tang, Jhon kemarin di sekolah kita kan belajar tentang tumbuhan, e..h nomong-ngomong kamu suka tumbuhan apa Jhon?”
“E..h kalau aku sih suka pohon kaktus, aku suka akan hidupnya yang keras pantang menyerah, bayangkan sobat ia mau hidup di padang yang gersang, panas dan kering. Kamu sendiri Man?” Jhoni balik bertanya pada Herman.
“Kalau aku suka bunga mawar, mawar tuh indah banget, apalagi kalau berbunga haru…..m sekali.”
            “Huh… kaya cewek aja,” ejek kami serempak.
            “Biarin, EGP gitu lho!” Kilah Herman.
            “Kamu?” Tanya Herman menunjuk kearahku.
 “Kalau aku suka rerumputan dan ilalang, lihatlah kawan rerumputan dan ilalang di depan kita! Mereka hidup tak terurus, terabaikan, bahkan banyak orang yang ingin mengenyahkannya. Tapi ternyata mereka masih memberi guna bagi kita, menjadi santapan lezat ternak kita. Mereka mengajarkan bahwa sekecil apapun kita, seremeh apapun kehidupan kita, kita mesti memberikan manfaat pada yang lainnya, ecamkan itu kawan !” ucapku lantang bak pujangga melantun sabda cinta.
“Ceileh, kaya Rendra,” puji Herman yang melankolis
“Chairil Anwar kalee……….” Ledek Jhoni dengan intonasi lee… yang panjang, membuat kami terpingkal mendengar suaranya yang cempreng itu. 
“Bintang, Jhoni”, panggil Herman yang kini berdiri seperti menteri yang akan memberi instruksi.
“Aku suka tempat ini, sungguh. Di sini seakan aku berada di surga-Nya, menghirup udara yang segar, melihat pemandangan yang indah, mendengarkan nyanyian burung yang merdu, mentadaburi ayat kauniyahNya dan belajar untuk bertahan, hidup pada rerumputan, ilalang yang selalu memberi walau tak pernah dihargai” ucapnya seperti Taufiq Ismail membaca puisi.
“Kalian sendiri?” tanyanya.
Aku dan Jhoni mengangguk saja. Tanpa bertanyapun sebenarnya ia tahu kami menyukai tempat ini, sungguh. Kami suka padang ilalang ini. Padang ilalang tempat bekerja sekaligus tempat bermain kami.

***

“Ya sudah  kita pulang yu udah siang nih!” Ajaku.
“Ayoo,” jawab mereka serempak.
Kamipun pergi meninggalkan perkebunan karet PTPN IX dengan sekarung rumput di pundak menuju rumah kami yang tak jauh dari tempat ini.
Sebenarnya banyak tempat untuk mencari rumput pakan ternak, di utara ada Dungus Pondok, di selatan ada Alas Kaliandra tapi kami mesti berjalan cukup jauh untuk mencapai kedua tempat itu. Karenanya kami lebih sering mencari rumput di perkebunan karet yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah kami.

****
Dua minggu berlalu, ahad pagi seperti biasa aku telah siap dengan sabit, karung dan tali dalam tas kumal yang kugendong. Aku duduk di teras rumah menunggu dua sobatku. Tak berapa lama mereka datang, lesu, tak bergairah wajah mereka tak seperti biasanya yang selalu cerah dan ceria,  perubahan yang membuatku heran, mereka mendekat menyapaku.
“Bintang, kita cari rumput di Dungus Pondok atau di Alas kaliandra?” Tanya Herman.
“Lho, ke kebun karet saja kan lebih dekat!”
“Hey memangnya kamu belum tahu apa, pohon karet itu telah ditebangi, tanahnya diratakan, katanya sih mau dibangun pila, eh salah villa maksudku.” ucap Jhoni heran.
“Maksudmu padang ilalang kita hilang?” tanyaku memastikan.
“Ya, tepat sekali,” jawab Jhoni dan Herman bersamaan.
“Apa…..?” aku terhenyak. Aku memang tak tahu soal pembangunan gedung yang kata Jhoni di sebut villa itu. Hampir dua minggu aku meninggalkan kampungku berlibur ke rumah kakek di Cimanggu, aku baru kembali ke sini tadi malam. Dan ketika kembali aku langsung mendengar berita yang mengagetkan itu.
“Padang ilalangku masih kah Kau ada?” tanyaku membatin.
“Jhon, Man antarkan aku melihatnya sebentar saja!” pintaku menegar-negarkan diri. Kami berangkat menuju kebun karet yang konon telah rata tanah itu.
Diperjalan aku diberitahu Jhoni dan Herman tentang rencana pembanguan beberapa Villa mewah dilengkapi taman yang luas dan megah milik seorang pengusaha kaya dari Semarang. Konon ia membeli tanah milik PTPN Seluas 4 hektar  seharga tujuh milyar lebih. Siapapun pasti tergiur untuk menjual tanah dengan harga sebesar itu termasuk para aparat di PTPN IX ini.
Masyarakat sekitar merasa kecolongan, mereka sama sekali tak mendapat pemberitahuan sebelumnya, mereka baru tahu setelah sekitar 20 orang penebang kayu datang menebangi pohon karet perkebunan disusul  tiga buah bull dozer yang meratakan tanah perkebunan karet ini. Kadung masyarakat sekitar termasuk keluarga Jhoni dan Herman marah, sebab mata pencaharian mereka terancam, mereka adalah penyadap karet di perkebunaqn ini. Mereka melakukan protes dan mendatangi kantor PTPN IX Divisi Moncolimo di Majenang. Para penyadap karet berdebat dengan petinggi PTPN tentang pekerjaan mereka yang terancam sirna. Akhirnya petinggi PTPN memutuskan untuk mengalihkan tempat penyadapan karet mereka ke Divisi Panulisan dan setiap penyadap mendapat kompensasi sebesar tiga ratus ribu rupiah atas kesalahan mereka karena tak mengajak para penyadap karet bermusyawarah tentang rencara penjualan tanah perkebunan karet itu.
Tapi bagaimanapun para penyadap tetap kecewa karena dengan ini berarti mereka harus menyadap pohon karet yang cukup jauh dari rumah. Juga bagi para pencari rumput seperti kami yang mesti mencari rumput ke tempat lain yang lebih jauh.
Tak terasa kami sudah sampai di area perkebunan karet yang sekarang tampaknya tak bisa lagi disebut sebagai perkebunan karet, karena tak ada satupun pohon karet yang tumbuh, rumput tak tersisa, tanah rata.  Batu, pasir dan bata baru diturunkan dari truk besar, beberapa bull dozer masih tampak bekerja meratakan gundukan tanah yang tersisa.
“Dua minggu begitu cepatkah waktu, hanya sebentar aku meninggalkanmu wahai padang ilalangku, tapi kenapa kau pergi meninggalkan aku wahai padang rumputku?” tanyaku lirih. Aku tercengang mengingat hariku yang lalu ketika aku berada di kebun karet padang ilalang  ini bersama dua sobatku, mengambil rumput, bermain, bercanda dan belajar pada alam. Belajar  akan arti hidup “memberi walau tak dihargai”.
Tak terasa setitik cairan bening keluar dari sudut mataku, aku mengusapnya segera, aku tak boleh menangis, aku harus tegar.
“Kamu kenapa Bintang?” Tanya Herman yang menangkap kesedihan hatiku.
“Oh tidak apa-apa, aku hanya ingat padang ilalang kita yang hilang” jawabku tegar.
“Ya, kita merindukan padang ilalang itu” Jhoni menambahkan.
“Udah jangan sedih gitu dong, kita kan mesti seperti rerumputan yang tak pernah protes walau sering ditebas, kalian tahu kenapa?  karena mereka optimis mereka akan tumbuh lag!i” Jelas Herman menyemangati kami.
Ya aku paham bahwa kita tak boleh bersedih, alam ini mengajarkan untuk tetap tegar menghadapi hidup, optimis mengarungi hari.
 “Aku tak boleh cengeng, aku mesti tegar.” Ucapku dalam hati menyemangati diri.
“Sampai jumpa padang ilalangku!” Ucapku lantang,
Kemudian aku berbalik, berlari dan berteriak mengajak pergi kedua sobatku.
“Let’s go to Alas Kaliandra!” 
Mereka menyusulku tergopoh.
 ”Woooii wait us!



***
Masjid Mubarok Darul Huda
 222307/0304/09
Teruntuk Sohib kecilku, Joni & Herman


Demikianlah Contoh Cerpen Persahabatan Remaja : Padang Ilalang yang Hilang

Info CPNS PPPK 2019 & Pelajaran Bahasa Indonesia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...