Kisah Dakwah : Kita Memang Manusia Biasa
|
Hal
menarik ketika beberapa orang ditanyai alasan kenapa surut dan mundur-teratur,
muntaber (mundur tanpa kabar berita)
dari Lembaga Dakwah ini, mereka diantaranya berdalih karena merasa jauh
dari kata sholeh.
“Ah
jangankan menasihati orang lain, sendiri juga masih belum bisa!”
“Banyak
sifat buruk saya, rasa-rasanya gak cocok tetap ada di sana!”
“Sudah
banyak orang hebat di sana. Saya malah minder. Hiks”
Dan
ungkapan-ungkapan sejenis. Perasaan
takut menjadi kaburo maktan menghantui. Kehati-hatian,
rasa takut itu memang selazinnya ada, agar senantiasa menjadi instrospeksi bagi
diri. Tapi apakah dengan dalih itu lantas menjadi sebuah alasan untuk berhenti total? Ah rasa-rasanya
tidak!
Menjadi
individu yang sholeh/hah adalah proses panjang. Manusia takkan mungkin tanpa
cela. Bukankah sudah kita ketahui sifat dasar manusia adalah tempat salah dan lupa? Kealfaan adalah
kewajaran yang penting tidak turuti, sebaliknya, terus berproses menjadi lebih
baik, walau bisa jadi hanya sejengkal.
“Saya
gak bisa ngementor, ilmu saya masih sedikit, belum alim juga!”
-lalu
kapan kau akan punya banyak ilmu dan alim?-
Ia
menggeleng.
|
Justru
ketika kita sedang menyebar kebaikan, menebar ilmu, mencurah nasihat, di saat
yang sama KITA SEDANG BERPROSES menjadi individu yang lebih baik, berilmu, dan
sholeh”
Imam
Hasan Al Bashri Berkata,
“Jika
lah hanya orang tanpa aib yang boleh memberi nasihat, dan orang yang memiliki
aib tak boleh memberi, maka takkan ada yang tersisa yang memberi nasihat.
Karena setiap orang punya aib, kekurangan. Maka takkan ada lagi kata nasihat-menasihati” Padahal
bukankah dalam surat Al Ashr Allah melazimkankan saling nasihat-menasihati dalam kebajikan?
Maka
pemahaman yang selazimnya kita pegang adalah, sekali lagi, kita sedang
berproses menjadi lebih baik lagi.
Mari
berdakwah, sekemampuan, semaksimal yang kita bisa.
#Salam
Satu Hati
Kisah Dakwah : Kita Memang Manusia Biasa