(Ini bisa dijadikan semacam acuan bahan ajar, tapi mohon tidak asal Copy-paste, silakan cermati lebih lanjut. Terima kasih atas sumbangsih sumber yang kami kutip)
Pada Pelajaran terdahulu, kalian telah belajar menuliskan kembali cerpen yang dibaca. Masih ingat kan berapa cerpen yang sudah kalian baca? Masih ingatkah isi cerpen yang kalian baca?
Nah, agar kalian memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai sastra, khususnya cerpen, pada pelajaran kali ini, kalian akan belajar menceritakan isi cerpen. Hal yang perlu kalian ingat ketika menceritakan isi cerpen adalah jalan ceritanya.Selain itu, tak kalah penting untuk kalian ingat adalah tokoh-tokoh serta latar cerita itu.Tiga hal tersebut merupakan bahan minimal sebagai modal kalian bercerita.Di samping itu, kalian juga harus bisa menerangkan maksud ungkapan yang ada dalam cerpen.
Di bawah ini disajikan sebuah cerpen karya Tetsuko Eika yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Sebuah Kata Rahasia.Bacalah dalam hati cerpen tersebut. Sambil membaca, perhatikan jalan ceritanya, tokoh-tokohnya, latar ceritanya serta ungkapan yang ada dalam cerpen tersebut!
Sumber www.annida-online.com
Gambar 5.3.Kumpulan cerpen “Sebuah Kata Rahasia”
Sebuah Kata Rahasia
Karya : Tetsuko Eika
Aku suka menunggu. Menunggu hadirnya sebuah kata termanis yang belum pernah kudengar.Dan, menunggu itu adalah kegemaranku. Bukan berarti aku adalah orang yang penyabar. BUKAN! Tapi, ini adalah sebuah rutinitas penting yang jika tidak kulakukan, aku bisa mati.Mati dengan tragis sambil berlinangan air mata.
“Jam lima,” desahku pelan.Secangkir kopi cappuccino tersaji dengan hangat di depanku.Aromanya yang khas, dengan taburan biji almon juga cokelat parut membuatku mulai tak bergeming.Tak Bergeming untuk meneteskan air liur dan menyeruput cangkir bermotifkan bunga tulip itu dalam-dalam.“Sampai kapan aku harus bersabar?” desahku lagi, kali ini aku bertanya dalam hati.Namun, sayang, tak ada jawaban yang muncul dari impuls-impuls otakku sendiri.
“Sungguh lama.”Aku mulai geram.Kuraih remote teve, dan kunyalakan teve. Dan, Pipp…suara power televisi menyala. Kulihat sebuah iklan shampo masuk ke dalam dua biji mataku, aku menggigit bibir mungilku.Kumatikan televisi dengan cepat. Bibirku berdecit: “Aku benci iklan!”
***
Setiap hari aku berjemur di antara pohon ek, juga pohon delima yang tumbuh tinggi di halaman rumah.Kata orang-orang, berjemur itu bisa membantu menghangatkan tulang-tulangku yang selalu linu, dan aku menurut saja dengan pernyataan itu.Aku pun selalu merapikan bunga-bunga yang daun-daunnya menguning, dan itu adalah aktivitas rutinku.Lalu, aku menyiram tanaman, mencabuti rumput, meraih belukar yang merambat di antara pagar besi berpola mozaik nephal dengan gundah. Dan, pasti kalian mengira kalau aku ini pembantu, iya kan? Aku tegaskan, aku ini bukan pembantu!
Aku hanya patung, sekaligus robot yang tengah menunggu.Itu saja.Yang, setiap harinya aku harus meladeni ocehan dua cucuku yang usil.Mitha dan Jemy.Aku menganggap mereka seperti tikus, karena mereka makan apapun yang ada di tangannya.Pernah, suatu hari aku mendapati Jemy tengah asyik memakan cacing ketika aku sedang menanam sawi putih di belakang rumah.Aku menarik cacing kotor di jemari mungilnya, namun Jemy menangis.Ia berteriak-teriak sambil berlari tak karuan. Lalu mengadu pada anakku.Usia Jemy yang belum genap dua tahun membuatku harus ekstra sabar, juga ekstra menunggu.Menunggu sampai saat aku tak harus menunggu dia lagi.
***
“Gak usah dikasih gula ya, Bu!”
Kudengar anakku, Riema, bersuara di balik tirai ruang tengah.Dan, aku langsung pergi, yah… ke dapur.Tempatku bekerja.Bukan untuk menyuruh pembantu membuatkan teh melati tanpa gula, tapi untuk membuatkan teh itu sendiri oleh jari-jariku.Jari-jariku yang kata orang sudah mulai keriput, kasar dan berurat.Namun, aku tersenyum dan lekas meraih gelas langsing di balik lemari dapur dan meraih teh serbuk dari Cina.Aku mulai mengaduk campuran teh impor itu dengan air hangat yang kujerang sendiri.Aku menghela napas.Lalu memunculkan senyum termegah pada anakku.Anakku yang super sibuk. Dan, sekali lagi… kutegaskan, aku bukanlah pembantu!
Saat yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika sore telah datang, karena saat itu aku bisa meremajakan kulitku yang tegang dengan menghirup sejuknya udara di balik bunga dandelion yang tertiup mesra.Aku selalu menarik tubuhku ke dalam aura menyegarkan bersama ikan-ikan koi yang berenang hilir mudik tak tentu arah. Aku selalu menyibak-nyibakkan air itu ke kakiku yang kata orang kakiku ini sudah mulai melemah, namun sebaliknya, aku merasa kakiku sungguh segar, tidak loyo dan aku merasa tak tampak tua. Sedikit pun.Meskipun banyak orang berkata bahwa aku ini sudah siap untuk mati.
Dan, saat yang paling membahagiakanku adalah ketika aku bisa duduk dengan nyaman di samping perapian sambil membaca buku.Ketika semua tak ada di sampingku.Tak ada Jemy, Mitha, Riema, juga suami Belandanya yang selalu naik pesawat demi bisnis hebohnya.Yah, aku suka saat-saat mataku terpejam sambil meniup paru-paruku sendiri dengan oksigen. Lembut sekali rasanya…
Namun, itu bohong! Aku malah tidak menyukai jika aku bersantai dan berleha-leha... aku lebih suka sibuk bekerja di rumah, mengepel, menyeterika, menyiapkan sarapan pagi juga membantu Jemy gosok gigi.
***
“Ibu, bisakah Ibu buatkan nasi goreng?”
Riema memanggilku ketika aku baru saja terbangun dari mimpiku.Aku mengusap mataku, lalu segera bangkit.Yah, menuju dapur.Tempat teristimewa yang kumiliki.Tempat paling indah yang dapat membuat Riema, putriku itu tumbuh dengan sehat.
“Tunggu sepuluh menit lagi, Sayang!” balasku.Dan, aku tersenyum.Bahagia sekali.Karena aku bisa berguna.Hingga air mataku bercucuran.
Ketika nasi goreng itu tersaji di meja makan, aku melihat menantuku tersenyum bangga kepadaku, tak lupa Riema juga.Ia tampak jauh lebih cantik dengan senyum megahnya yang hebat. Lalu, aku pergi. Untuk mencipratkan air ke wajah, kaki, lenganku dan alat-alat pergerakanku untuk bersujud. Berterima kasih pada Tuhan karena aku memiliki semuanya.Meski ada yang kurang, hanya satu saja.Dan itu rahasia.
***
Setiap setahun sekali aku pergi bersama keluarga anakku untuk menjenguk jasad suamiku yang tertutup tanah merah dengan nisan bertuliskan Rudy Santosa. Aku selalu mendoakan suamiku yang telah kabur dari dunia ini. Kabur dengan sekejap tanpa bicara apapun kalau ia akan pergi selamanya. Namun, aku selalu berbahagia, karena inilah yang terbaik.Meskipun, aku selalu harus menunggu.Dengan malas. Capek. Yang sebenarnya rasa malasku, capekku, adalah bohong! Hanya hati jahatku yang berkata bahwa aku tidak menikmati ini semua. Dan, hanya jiwa asliku saja yang berkata bahwa: “Aku mencintai semuanya.”
Dua hari setelah aku pergi berziarah ke makam suamiku, aku mendapati Mitha tergolek dengan lemas.Ia muntah-muntah. Aku bingung.Karena aku hanyalah robot yang merangkap menjadi patung.Yang hanya menunggu semua berjalan bagai waktu. Menunggu hadirnya kata tabu dalam hidupku. Tapi, segera kutepis pengharapan kata itu.Dengan sigap kuraih tubuh gempal cucuku dengan langkahku yang tertatih-tatih.Menuju klinik kesehatan terdekat.Aku menangis, ketika Mitha kecilku harus disuntik.Ia meraung-raung. Sambil memanggil ibunya…
”Ibu…ibu…ibu.”Itu kumpulan kata yang kudengar dari mulut kecil cucu pertamaku.Dan, entah mengapa… dadaku tiba-tiba sangat sesak. Aku berkata dalam hati: “Mengapa engkau tak menyebut namaku?”
Lima belas tahun tinggal di sebuah rumah yang megah membuatku cukup kerepotan.Aku jadi semakin sulit untuk meraih belukar yang selalu saja tumbuh subur di pagar mozaik nephal.Aku pun semakin sulit untuk berkebun, menyiram bunga-bunga tulip, dan mencabuti rumput.Dan, entahlah, rasanya ada sengatan listrik di punggungku ketika aku harus membungkuk untuk menanam sawi putih ataupun tomat jepang.Aku sekarang lebih banyak duduk di kursi goyang; memperhatikan dua cucuku yang sudah tumbuh menjadi remaja. Mitha yang cantik, ia tumbuh dengan bola mata yang indah dan menawan, rambutnya pun lebat, kulitnya putih bersih dan memiliki pesona senyum yang begitu dahsyat. Juga Jemy, ia pun memiliki tubuh yang kuat, kekar dan wajah yang tampan seperti ayahnya. Aku selalu bersyukur.Memiliki semuanya.Meskipun ada satu hal yang aku tak punya.Dan, itu rahasia.
“Nek, buatkan aku jus ya! Sepuluh gelas! Teman-temanku mau datang. Please ya, Nek!” Mitha memohon padaku.Dan, aku membalas permintaannya dengan puluhan langkahku yang entah mengapa terasa sangat berat.Tapi, aku senang.Bisa membantu semuanya, dan membuat semua tampak lebih baik.Meskipun aku harus menunggu.Menunggu agar aku tak harus menunggu lagi.
“Baiklah, Manis..” balasku ramah. Dan kreeekkk…
Kurasakan tulang punggungku gemeretak. Seperti suara kemasan air mineral yang tergilas ban mobil. Sakit sekali.
Ketika sepuluh gelas jus terhidang di meja.Mitha tersenyum pada kesepuluh teman-temannya. Dan, ia melupakan satu hal. Ia lupa tersenyum kepadaku. Tapi, tak apalah…aku tak butuh itu.Yang kubutahkan hanyalah satu…dan, itu rahasia.Sangat rahasia.Juga tak terlalu penting.
***
Ketika usiaku mendekati delapan puluh tahun, hampir lebih dari setengah bulan setiap tahunnya aku sendirian di rumah.Tak ada Mitha, Jemy, Riema, juga suaminya untuk menemani masa tuaku yang kata orang begitu menyedihkan dan kurang kasih sayang.Keluargaku pergi keluar negeri, pergi ke Belanda. Dan, menetap di sana, di negara menantuku yang sungguh asing. Dan, aku sendirian.Entahlah, banyak hal yang mereka katakan padaku mengenai kepergian mereka ke negeri kincir angin itu. Mereka pergi untuk bisnis, edukasi, traveling, bahkan shopping. Dan, jadilah aku seorang diri yang bisa mencium udara senja sambil mengibaskan kesepianku yang muncul dengan drastis.
Dan, kembali dadaku terusik untuk mengungkapkan satu hal saja.Namun, itu begitu rahasia untuk kuungkapkan.
Usiaku semakin menanjak dalam kebisuan dan kesendirian diantara rumah mewah.Aku terpaksa memanggil tukang kebun untuk membantuku menyiram tanaman, mencabuti belukar juga merawat bunga tulip kesayangan Riema.Dan, terpaksa pula aku mempekerjakan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun untuk membantuku menghidangkan bubur untuk kusantap.Dan, semua terasa begitu cepat berlalu.Aku menua, lemah, dan hampir mati.Dan kata orang, aku hidup tanpa kasih sayang.
“Susi, bisa bantu aku?”Aku memanggil pembantu kecilku yang putus sekolah untuk membawaku ke halaman belakang rumah.Dengan sigap Susi datang dan tersenyum ramah.Ia lalu mendorong kursi roda yang di atasnya terduduk seonggok daging tua yang lemah. Itu aku.
“Mau ke mana, Nek?” tanya Susi.
“Mencium wangi angin sore di antara bunga dandelion,” balasku pelan.Dan, roda pun melaju. Dua tangan kecil Susi tampak susah payah mendorong tubuhku melewati dua puluh anak tangga menuju halaman belakang rumah. Sesampainya aku di halaman belakang rumah, Susi berbisik padaku.“Kubawakan teh ya, Nek” Aku mengangguk dan Susi pun berlari menuju dapur.
***
Riema adalah putriku satu-satunya.Ia manis. Semanis gula India.Dan, aku begitu sayang padanya.Rasa sayangku semakin memuncak ketika aku memiliki dua cucu yang sehat dan istimewa.Jemy dan Mitha adalah pelita masa tuaku.Aku selalu senang.Meskipun aku harus menunggu.Namun, memberi warna dalam hidup mereka bisa membuatku melupakan sebuah kata yang rahasia, yang kuanggap begitu tabu untuk kudengar oleh dua telinga yang keriput ini.
Yah, bisa melupakan sebuah kata rahasia merupakan momen yang paling berharga dalam hidupku.Namun, semua itu tak mampu kutahan sampai saat aku tak mampu lagi menyimpan keinginan mendengar satu kata yang rahasia itu.Pada sebuah sore, bersama angin dandelion… aku berharap kata itu hadir dan mengalir di telingaku dari Riema, Mitha, Jemy.Orang-orang terkasihku.
***
“Nek, ini tehnya.”Susi menyodorkan secangkir teh wangi kepadaku.Aku tersenyum. Susi pun tersipu, ia lalu menunjuk deretan bunga dandelion yang tumbuh subur di sampingku. “Bolehkah aku meniup setangkai bunga dandelion untukmmu, Nek?”Aku mengangguk.Lalu, Susi meraih bunga dandelion dan meniupnya.Kulihat matanya terpejam ketika helaian ringan dandelion terempas angin sore dengan mesra.Ia langsung menatapku dan memegang lembut jemariku. “Terima kasih karena telah mengizinkanku meniup dandelion ini untukmu, Nek.”
Aku terperanjat…!
Mendengar kata-katanya, dadaku tiba-tiba berguncang dengan hebat, karena sebuah kata yang kugaris bawahi dalam hati, aku seakan tengah merebus jantungku hingga hampir meledak. Oh Tuhan, tiba-tiba aku merasa sungguh berarti dalam hidup ini. Dan merasa dihargai.Sebuah kata yang terlontar dari bibir kecil Susi membuatku mampu menyibak kata rahasia yang selalu kupendam dalam hati.Terima kasih.Hanya itu.kata rahasia yang ingin sekali kudengar dari bibir Riema, Mitha juga Jemy. Pelita hidupku.
Seandainya angin bisa bergerak bagai cahaya, ingin sekali kutitip satu permintaan untuk mereka.
“Cukup satu kata saja…sayang!”Untuk semua kasih sayangku selama ini.
*****
(Sumber Antologi Cerpen “Sebuah Kata Rahasia” SMG Publishing 2010 hal 1-10)
Jawablah Pertanyaan berikut!
1. Apa tema cerpen tersebut?
2. Siapa saja tokoh-tokoh pada cerpen tersebut?/
3. Siapakah Aku (nenek)?
4. Siapakah Riema?
5. Siapakah Jemy dan Mitha?
6. Siapakah Susi?
7. Apa hubungan aku (nenek) dengan Reima, Jemy, Mitha dan Susi?
8. Bagaimana keadaan aku (nenek) dalam kesehariannya?
9. Bagaimana perasaan aku (nenek) ketika mendengar susi mengungkapkan kata terima kasih?
10. Pada cerpen sebuah kata rahasia kalian menemukan ungkapan “Sebuah iklan shampoo masuk ke dalam dua biji mataku”, “Yang telah kabur dari dunia ini” dan, “Mencium udara senja.” Apa maksud ungkapan-ungkapan tersebut?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kamu akan dapat menceritakan isi cerpen “Sebuah Kata Rahasia”. Lanjutkan ringkasan cerita cerita ini sesuai jawaban pertanyaanmu. Kemudian, sampaikan ringkasan cerita ini secara lisan di depan kelas!
Sebuah kata rahasia, sebuah judul cerpen yang misterius.Cerpen ini mengurai cerita tentang seorang nenek (aku-an) yang tinggal di rumah yang megah bersama anaknya, Reima, dan dua cucunya, Jemy dan Mitha.Aktivitas harian nenek setiap hari adalah berjemur di antara pohon ek, juga pohon delima yang tumbuh tinggi di halaman rumah juga merapikan bunga-bunga yang daun-daunnya menguning. Lalu, menyiram tanaman, mencabuti rumput, meraih belukar yang merambat di antara pagarbesi berpola mozaik nephal…………………………………………………………………….............................................................................................................................
Demikianlah materi Menceritakan Isi Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar