MODEL
PEMBELAJARAN SASTRA
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Sastra
Oleh
:
Prito
Windiarto
2108090225
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2011
MODEL
PEMBELAJARAN SASTRA
Nama
Sekolah : MA
Darul
Huda
Mata
pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester :
X/1
Alokasi
Waktu : 2×
45
menit
- Standar Kompetensi
Berbicara
6.
Membahas
cerita pendek melalui kegiatan diskusi
- Kompetensi Dasar
6.2.
Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi
- Indikator
- Menemukan nilai-nilai dalam cerpen
- Membandingkan nilai-nilai yaang terdapat dalam cerita pendek dengan kehidupan sehari-hari
- Mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen
- Tujuan Pembelajaran
- Siswa mampu menemukan nilai-nilai dalam cerpen
- Siswa dapat membandingkan nilai-nilai yaang terdapat dalam cerita pendek dengan kehidupan sehari-hari
- Siswa mampu mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen
- Materi Pokok
Saat selesai membaca
cerpen, mungkin Anda pernah merasakan ada nilai-nilai yang sesuai
untuk dijalankan dalam keseharian. Itu kerjadi karena cerpen
merupakan cerita fiksi/rekaan yang menggambarkan sebagian kecil dari
kehidupan seseorang. Cerita pendek tidak hanya berisi rangkaian
peristiwa. Ada hal penting yang disampaikan pengarang kepada pembaca.
Dalam cerpen seorang pengarang kadang menampilkan nilai-nilai
kehidupan yanga ada dalam masyarakat. Hal tersebut dihadapkan dapat
menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman hidup pembaca. Pembaca
menjadi lebih arif dan bijaksana dalam kehidupan sekitar. Nilai
kehidupan dalam cerpen melalui ucapan, tindakan, pikiran dan perasaan
tokoh-tokoh cerita. Nilai-nilai tersebut melalui nilai moral, budaya,
agama, etika, kasih sayang, pendidikan, persahabatan, patriotisme,
religius dan kemanusiaan.
Wujud moral dalam
karya fiksi dapat berupa :
- hubungan manusia dengan dirinya sendiri ;
- hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial ;
- hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya ;
- hubungan manusia dengan Tuhannya
Sekarang simak
cerpen berikut “sebuah kata rahasia” berikut ini :
Sebuah
Kata Rahasia
Penulis:
Tetsuko Eika
Aku
suka menunggu. Menunggu hadirnya sebuah kata termanis yang belum
pernah kudengar. Dan, menunggu itu adalah kegemaranku. Bukan berarti
aku adalah orang yang penyabar. BUKAN! Tapi, ini adalah sebuah
rutinitas penting yang jika tidak kulakukan, aku bisa mati. Mati
dengan tragis sambil berlinangan air mata.
“Jam
lima,” desahku pelan. Secangkir kopi cappuccino tersaji dengan
hangat di depanku. Aromanya yang khas, dengan taburan biji almon juga
cokelat parut membuatku mulai tak bergeming. Tak Bergeming untuk
meneteskan air liur dan menyeruput cangkir bermotifkan bunga tulip
itu dalam-dalam. “Sampai kapan aku harus bersabar?” desahku lagi,
kali ini aku bertanya dalam hati. Namun, sayang, tak ada jawaban yang
muncul dari impuls-impuls otakku sendiri.
“Sungguh
lama.” Aku mulai geram. Kuraih remote teve, dan kunyalakan teve.
Dan, Pipp…suara power televisi menyala. Kulihat sebuah iklan shampo
masuk ke dalam dua biji mataku, aku menggigit bibir mungilku.
Kumatikan televisi dengan cepat. Bibirku berdecit: “Aku benci
iklan!”
***
Setiap
hari aku berjemur di antara pohon ek, juga pohon delima yang tumbuh
tinggi di halaman rumah. Kata orang-orang, berjemur itu bisa membantu
menghangatkan tulang-tulangku yang selalu linu, dan aku menurut saja
dengan pernyataan itu. Aku pun selalu merapikan bunga-bunga yang
daun-daunnya menguning, dan itu adalah aktivitas rutinku. Lalu, aku
menyiram tanaman, mencabuti rumput, meraih belukar yang merambat di
antara pagar besi berpola mozaik nephal dengan gundah. Dan, pasti
kalian mengira kalau aku ini pembantu, iya kan? Aku tegaskan, aku ini
bukan pembantu!
Aku
hanya patung, sekaligus robot yang tengah menunggu. Itu saja. Yang,
setiap harinya aku harus meladeni ocehan dua cucuku yang usil. Mitha
dan Jemy. Aku menganggap mereka seperti tikus, karena mereka makan
apapun yang ada di tangannya. Pernah, suatu hari aku mendapati Jemy
tengah asyik memakan cacing ketika aku sedang menanam sawi putih di
belakang rumah. Aku menarik cacing kotor di jemari mungilnya, namun
Jemy menangis. Ia berteriak-teriak sambil berlari tak karuan. Lalu
mengadu pada anakku. Usia Jemy yang belum genap dua tahun membuatku
harus ekstra sabar, juga ekstra menunggu. Menunggu sampai saat aku
tak harus menunggu dia lagi.
***
“Gak
usah dikasih gula ya, Bu!”
Kudengar
anakku, Riema, bersuara di balik tirai ruang tengah. Dan, aku
langsung pergi, yah… ke dapur. Tempatku bekerja. Bukan untuk
menyuruh pembantu membuatkan teh melati tanpa gula, tapi untuk
membuatkan teh itu sendiri oleh jari-jariku. Jari-jariku yang kata
orang sudah mulai keriput, kasar dan berurat. Namun, aku tersenyum
dan lekas meraih gelas langsing di balik lemari dapur dan meraih teh
serbuk dari Cina. Aku mulai mengaduk campuran teh impor itu dengan
air hangat yang kujerang sendiri. Aku menghela napas. Lalu
memunculkan senyum termegah pada anakku. Anakku yang super sibuk.
Dan, sekali lagi… kutegaskan, aku bukanlah pembantu!
Saat
yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika sore telah datang,
karena saat itu aku bisa meremajakan kulitku yang tegang dengan
menghirup sejuknya udara di balik bunga dandelion yang tertiup mesra.
Aku selalu menarik tubuhku ke dalam aura menyegarkan bersama
ikan-ikan koi yang berenang hilir mudik tak tentu arah. Aku selalu
menyibak-nyibakkan air itu ke kakiku yang kata orang kakiku ini sudah
mulai melemah, namun sebaliknya, aku merasa kakiku sungguh segar,
tidak loyo dan aku merasa tak tampak tua. Sedikit pun. Meskipun
banyak orang berkata bahwa aku ini sudah siap untuk mati.
Dan,
saat yang paling membahagiakanku adalah ketika aku bisa duduk dengan
nyaman di samping perapian sambil membaca buku. Ketika semua tak ada
di sampingku. Tak ada Jemy, Mitha, Riema, juga suami Belandanya yang
selalu naik pesawat demi bisnis hebohnya. Yah, aku suka saat-saat
mataku terpejam sambil meniup paru-paruku sendiri dengan oksigen.
Lembut sekali rasanya…
Namun,
itu bohong! Aku malah tidak menyukai jika aku bersantai dan
berleha-leha... aku lebih suka sibuk bekerja di rumah, mengepel,
menyeterika, menyiapkan sarapan pagi juga membantu Jemy gosok gigi.
***
“Ibu,
bisakah Ibu buatkan nasi goreng?”
Riema
memanggilku ketika aku baru saja terbangun dari mimpiku. Aku mengusap
mataku, lalu segera bangkit. Yah, menuju dapur. Tempat teristimewa
yang kumiliki. Tempat paling indah yang dapat membuat Riema, putriku
itu tumbuh dengan sehat.
“Tunggu
sepuluh menit lagi, Sayang!” balasku. Dan, aku tersenyum. Bahagia
sekali. Karena aku bisa berguna. Hingga air mataku bercucuran.
Ketika
nasi goreng itu tersaji di meja makan, aku melihat menantuku
tersenyum bangga kepadaku, tak lupa Riema juga. Ia tampak jauh lebih
cantik dengan senyum megahnya yang hebat. Lalu, aku pergi. Untuk
mencipratkan air ke wajah, kaki, lenganku dan alat-alat pergerakanku
untuk bersujud. Berterima kasih pada Tuhan karena aku memiliki
semuanya. Meski ada yang kurang, hanya satu saja. Dan itu rahasia.
***
Setiap
setahun sekali aku pergi bersama keluarga anakku untuk menjenguk
jasad suamiku yang tertutup tanah merah dengan nisan bertuliskan Rudy
Santosa. Aku selalu mendoakan suamiku yang telah kabur dari dunia
ini. Kabur dengan sekejap tanpa bicara apapun kalau ia akan pergi
selamanya. Namun, aku selalu berbahagia, karena inilah yang terbaik.
Meskipun, aku selalu harus menunggu. Dengan malas. Capek. Yang
sebenarnya rasa malasku, capekku, adalah bohong! Hanya hati jahatku
yang berkata bahwa aku tidak menikmati ini semua. Dan, hanya jiwa
asliku saja yang berkata bahwa: “Aku mencintai semuanya.”
Dua
hari setelah aku pergi berziarah ke makam suamiku, aku mendapati
Mitha tergolek dengan lemas. Ia muntah-muntah. Aku bingung. Karena
aku hanyalah robot yang merangkap menjadi patung. Yang hanya menunggu
semua berjalan bagai waktu. Menunggu hadirnya kata tabu dalam
hidupku. Tapi, segera kutepis pengharapan kata itu. Dengan sigap
kuraih tubuh gempal cucuku dengan langkahku yang tertatih-tatih.
Menuju klinik kesehatan terdekat. Aku menangis, ketika Mitha kecilku
harus disuntik. Ia meraung-raung. Sambil memanggil ibunya…
”Ibu…ibu…ibu.”
Itu kumpulan kata yang kudengar dari mulut kecil cucu pertamaku. Dan,
entah mengapa… dadaku tiba-tiba sangat sesak. Aku berkata dalam
hati: “Mengapa engkau tak menyebut namaku?”
Lima
belas tahun tinggal di sebuah rumah yang megah membuatku cukup
kerepotan. Aku jadi semakin sulit untuk meraih belukar yang selalu
saja tumbuh subur di pagar mozaik nephal. Aku pun semakin sulit untuk
berkebun, menyiram bunga-bunga tulip, dan mencabuti rumput. Dan,
entahlah, rasanya ada sengatan listrik di punggungku ketika aku harus
membungkuk untuk menanam sawi putih ataupun tomat jepang. Aku
sekarang lebih banyak duduk di kursi goyang; memperhatikan dua cucuku
yang sudah tumbuh menjadi remaja. Mitha yang cantik, ia tumbuh dengan
bola mata yang indah dan menawan, rambutnya pun lebat, kulitnya putih
bersih dan memiliki pesona senyum yang begitu dahsyat. Juga Jemy, ia
pun memiliki tubuh yang kuat, kekar dan wajah yang tampan seperti
ayahnya. Aku selalu bersyukur. Memiliki semuanya. Meskipun ada satu
hal yang aku tak punya. Dan, itu rahasia.
“Nek,
buatkan aku jus ya! Sepuluh gelas! Teman-temanku mau datang. Please
ya, Nek!” Mitha memohon padaku. Dan, aku membalas permintaannya
dengan puluhan langkahku yang entah mengapa terasa sangat berat.
Tapi, aku senang. Bisa membantu semuanya, dan membuat semua tampak
lebih baik. Meskipun aku harus menunggu. Menunggu agar aku tak harus
menunggu lagi.
“Baiklah,
Manis..” balasku ramah. Dan kreeekkk…
Kurasakan
tulang punggungku gemeretak. Seperti suara kemasan air mineral yang
tergilas ban mobil. Sakit sekali.
Ketika
sepuluh gelas jus terhidang di meja. Mitha tersenyum pada kesepuluh
teman-temannya. Dan, ia melupakan satu hal. Ia lupa tersenyum
kepadaku. Tapi, tak apalah…aku tak butuh itu. Yang kubutahkan
hanyalah satu…dan, itu rahasia. Sangat rahasia. Juga tak terlalu
penting.
***
Ketika
usiaku mendekati delapan puluh tahun, hampir lebih dari setengah
bulan setiap tahunnya aku sendirian di rumah. Tak ada Mitha, Jemy,
Riema, juga suaminya untuk menemani masa tuaku yang kata orang begitu
menyedihkan dan kurang kasih sayang. Keluargaku pergi keluar negeri,
pergi ke Belanda. Dan, menetap di sana, di negara menantuku yang
sungguh asing. Dan, aku sendirian. Entahlah, banyak hal yang mereka
katakan padaku mengenai kepergian mereka ke negeri kincir angin itu.
Mereka pergi untuk bisnis, edukasi, traveling, bahkan shopping. Dan,
jadilah aku seorang diri yang bisa mencium udara senja sambil
mengibaskan kesepianku yang muncul dengan drastis.
Dan,
kembali dadaku terusik untuk mengungkapkan satu hal saja. Namun, itu
begitu rahasia untuk kuungkapkan.
Usiaku
semakin menanjak dalam kebisuan dan kesendirian diantara rumah mewah.
Aku terpaksa memanggil tukang kebun untuk membantuku menyiram
tanaman, mencabuti belukar juga merawat bunga tulip kesayangan Riema.
Dan, terpaksa pula aku mempekerjakan seorang gadis kecil berusia
sepuluh tahun untuk membantuku menghidangkan bubur untuk kusantap.
Dan, semua terasa begitu cepat berlalu. Aku menua, lemah, dan hampir
mati. Dan kata orang, aku hidup tanpa kasih sayang.
“Susi,
bisa bantu aku?” Aku memanggil pembantu kecilku yang putus sekolah
untuk membawaku ke halaman belakang rumah. Dengan sigap Susi datang
dan tersenyum ramah. Ia lalu mendorong kursi roda yang di atasnya
terduduk seonggok daging tua yang lemah. Itu aku.
“Mau
ke mana, Nek?” tanya Susi.
“Mencium
wangi angin sore di antara bunga dandelion,” balasku pelan. Dan,
roda pun melaju. Dua tangan kecil Susi tampak susah payah mendorong
tubuhku melewati dua puluh anak tangga menuju halaman belakang rumah.
Sesampainya aku di halaman belakang rumah, Susi berbisik padaku.
“Kubawakan teh ya, Nek” Aku mengangguk dan Susi pun berlari
menuju dapur.
***
Riema
adalah putriku satu-satunya. Ia manis. Semanis gula India. Dan, aku
begitu sayang padanya. Rasa sayangku semakin memuncak ketika aku
memiliki dua cucu yang sehat dan istimewa. Jemy dan Mitha adalah
pelita masa tuaku. Aku selalu senang. Meskipun aku harus menunggu.
Namun, memberi warna dalam hidup mereka bisa membuatku melupakan
sebuah kata yang rahasia, yang kuanggap begitu tabu untuk kudengar
oleh dua telinga yang keriput ini.
Yah,
bisa melupakan sebuah kata rahasia merupakan momen yang paling
berharga dalam hidupku. Namun, semua itu tak mampu kutahan sampai
saat aku tak mampu lagi menyimpan keinginan mendengar satu kata yang
rahasia itu. Pada sebuah sore, bersama angin dandelion… aku
berharap kata itu hadir dan mengalir di telingaku dari Riema, Mitha,
Jemy. Orang-orang terkasihku.
***
“Nek,
ini tehnya.” Susi menyodorkan secangkir teh wangi kepadaku. Aku
tersenyum. Susi pun tersipu, ia lalu menunjuk deretan bunga dandelion
yang tumbuh subur di sampingku. “Bolehkah aku meniup setangkai
bunga dandelion untukmmu, Nek?” Aku mengangguk. Lalu, Susi meraih
bunga dandelion dan meniupnya. Kulihat matanya terpejam ketika
helaian ringan dandelion terempas angin sore dengan mesra. Ia
langsung menatapku dan memegang lembut jemariku. “Terima kasih
karena telah mengizinkanku meniup dandelion ini untukmu, Nek.”
Aku
terperanjat…!
Mendengar
kata-katanya, dadaku tiba-tiba berguncang dengan hebat, karena sebuah
kata yang kugaris bawahi dalam hati, aku seakan tengah merebus
jantungku hingga hampir meledak. Oh Tuhan, tiba-tiba aku merasa
sungguh berarti dalam hidup ini. Dan merasa dihargai. Sebuah kata
yang terlontar dari bibir kecil Susi membuatku mampu menyibak kata
rahasia yang selalu kupendam dalam hati. Terima kasih. Hanya itu.
kata rahasia yang ingin sekali kudengar dari bibir Riema, Mitha juga
Jemy. Pelita hidupku.
Seandainya
angin bisa bergerak bagai cahaya, ingin sekali kutitip satu
permintaan untuk mereka.
“Cukup
satu kata saja…sayang!” Untuk semua kasih sayangku selama ini.
*****(Sumber
Antologi Cerpen “Sebuah kata rahasia” 2010 hal 1-10)
- Metode Pembelajaran
- Deskripsi
- Demonstrasi
- Diskusi
- Penugasan
- Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan
|
Waktu
|
|
15
Menit
|
|
60
Menit
|
|
15
Menit
|
- Sumber Belajar
- Antologi Cerpen “Sebuah Kata Rahasia" halaman 1-10
- Buku paket bahasa indonesia kelas x
- Internet (www.themahir.blogspot.com)
- Penilaian
- Jenis tagihan
- Tugas individu
- Tugas kelompok
- Bentuk instrument
- Performansi
- Uji kompetensi
- Soal
- Temukanlah nilai-nilai dalam cerpen “Sebuah Kata Rahasia”!
- Bandingkanlah nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen “Sebuah Kata Rahasia” dengan kehidupan sehari-hari.
- Diskusikanlah nilai-nilai yang terdapat dalam ceepen “Sebuah Kata Rahasia”!
- Jawaban terlampir
Rublik
Penilaian
Mengenai
aktivitas siswa dalam kelompoknya selama kegiatan pembelajaran dengan
berpedoman pada format berikut :
Kelompok
|
Nilai-nilai
yang ditemukan
|
Alasan
|
Skor
|
I
|
|
|
|
II
|
|
|
|
III
|
|
|
|
IV
|
|
|
|
No
|
Nama
Siswa/Kelompok |
Aspek
yang dinilai
|
Jumlah
skor
|
Nilai
|
||
|
|
Kerjasama
0-30
|
Keseriusan
0-30
|
Penggunaan
kata 0-40
|
|
|
1. |
|
|
|
|
|
|
2. |
|
|
|
|
|
|
3. |
|
|
|
|
|
|
Format
Observasi
No
|
Nama
siswa |
Keseriusan
|
Kerjasama
|
Keberanian
|
Keaktifan
|
||||||||||||||||
|
|
5 |
4 |
3 |
2 |
1 |
5 |
4 |
3 |
2 |
1 |
5 |
4 |
3 |
2 |
1 |
5 |
4 |
3 |
2 |
1 |
1. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan
:
Sangat
Baik = 5
Baik =
4
Cukup =
3
Kurang =
2
Sangat
Kurang = 1
Penghitungan
nilai akhir
-
Nilai akhir = Perolehan skor× Skor ideal 100Skor maks
Mengetahui,
Kepala
MA
Darul Huda
______________
NIP____________
|
Cilacap,
5 April 2011
Guru
Mata Pelajaran
Prito
Windiarto
NIM
2108090225
|
Lampiran
Jawaban
1.
Nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen “sebuah kata rahasia” :
a.
Nilai Agama : Sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan
pertolongan orang lain sudah selayaknya berkerimakasih kepada orang
lain atas kebaikan yang telah diberikan sebagai manifestasi rasa
syukur padaNya
b.
Nilai Budaya : Semakin lunturnya budaya memberikan penghargaan
(berterimaksih) terutama dalam kehidupan masyarakat kota.
c.
Nilai Moral : 1) Kekayaan, kemewahan bukan hal mutlak yang menjamin
kebahagiaan seseorang. 2) Bagiamanapun seseorang terlebih orangt tua
temtu mengharapkan penghargaan dari anak cucunya walau sekedar ucapan
termaksih yang tulus. 3) Terima kasih, sebuah ucapan sederhana namun
begitu bermakna. Kadang kita lupa betapa berharganya sebuah ucapan
terimakasih. Karena itu mari berterimaksihlah atas segala kebaikan
yang kita terima.
2.
Kalau kita perhatikan nilai-nilai dalam cerpen “Sebuah Kata
Rahasia” relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Diamana budaya
memberi penghargaan (terima kasih) semakin luntuh di tengah
masyarakat (kota) terganti dengan budaya materialistik, segala
sesuatu berdasarkan materi. Orang merasa cukup memberi materi (uang)
sebagai imbalan pekerjaan tanpa perlu berucap terima kasih.
3. Praktik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar