Nasihat Untuk Menjaga Ucapan : Lidah yang Tergelincir
Prito Windiarto
Lisan. Lidah. Dua kata yang
bertalian dalam hal bicara. Dalam lieratur Islam dikenal pepatah “salamatul
insan fi hizfil lisan”. Selamatnya seseorang ada pada penjagaan pada lisan
(lidah).
Ya. Banyak contoh, dari ketakmampuan
menjaga lisan membawa petaka. Konon, di zaman Kekaisaran Prancis, sang kaisar
pernah keseleo lisan. Ketika itu beliau memberi komando pada prajurit terkait
para tawanan, harusnya beliau bilang “bebaskan”, malah terucap “tebaskan”. Maka
para tawanan yang semestinya bebas malah kemudian harus ditebas (dihukum mati).
Dalam pepatah lain disebutkan, عَثْرَةُ القَدَمِ أَسْلَمُ مِنْ عَثْرَةِ
اللِّسَانِ “Atsrotul qodami aslamu min atsrotil lisan”. Tergelincirnya kaki
lebih selamat tinimbang tergelincir kaki. Ya, lisan / lidah yang tergelincir
bisa mendatangkan kemudharatan lebih berat. Bahkan jika itu dilakukan dengan
tanpa niat dan tanpa sengaja sekalipun.
Suatu kali, seorang ustaz bercerita,
sebut saja namanya Ustaz San. Ia punya asisten pribadi yang tak lain adalah
pamannya sendiri. Sang paman menemani ke mana pun sang ustaz mentas. Beliau
asisten yang luar biasa. Suatu hari, ustaz San bertemu dengan gurunya, Ustaz
Yusuf Mansur.
Ustaz Yusuf Mansur bertanya, “Kamu
ke sini ditemani siapa?” Ustaz San menjawab santai “saya ke sini dengan sopir”.
Ya. Sang paman memang tugasnya adalah asistensi Ustaz San, termasuk dalam hal
menyopiri kendaraaan. Jadi tak ada yang salah dengan jawaban Ustaz San
tersebut. Namun nyatanya ketika itu sang paman ada di sana dan ia merasa
tersinggung.
Ustaz San tidak tahu kalau pamannya
itu tersinggung. Ia baru tahu setelah Sang Paman meninggal, ia diberitahu
kerabatnya bahwa ketika itu ia sangat kecewa disebut sebagai “sopir”. Ustaz San
sangat menyesal atas apa yang ia lakukan.
Lain cerita di sebuah sekolah. Ada yang
bertanya pada seorang guru, “Berapa sih honormu? Berapa sih gaji suamimu?”.
Pertanyaan yang memang secara normatif sah-sah saja. Namun, pertanyaan itu
terasa menyembilu. Seperti merendahkan.
Benar. Dalam keseharian kita memang
perlu berkomunikasi lisan. Sangat penting. Namun, harus diingat, betapa lidah
ini bisa tergelincir. Sekadar candaan juga bisa berbuah amarah. Apabila
bercanda kita juga harus memperhatikan situasi dan kondisi. Termasuk siapa yang
kita ajak bercanda.
Tulisan ini sekali lagi mengajak
(utamanya diri sendiri) untuk bijak bertutur kata. Jangan sampai kata itu
mencipta luka, bakan duka. Semoga, senantiasa, Allah menjaga lisan kita.
Wallahu a’lam
*Pengajar
di GO Kota Banjar