29.1.19

Nasihat Untuk Menjaga Ucapan : Lidah yang Tergelincir


Nasihat Untuk Menjaga Ucapan : Lidah yang Tergelincir
 Prito Windiarto

            Lisan. Lidah. Dua kata yang bertalian dalam hal bicara. Dalam lieratur Islam dikenal pepatah “salamatul insan fi hizfil lisan”. Selamatnya seseorang ada pada penjagaan pada lisan (lidah).
            Ya. Banyak contoh, dari ketakmampuan menjaga lisan membawa petaka. Konon, di zaman Kekaisaran Prancis, sang kaisar pernah keseleo lisan. Ketika itu beliau memberi komando pada prajurit terkait para tawanan, harusnya beliau bilang “bebaskan”, malah terucap “tebaskan”. Maka para tawanan yang semestinya bebas malah kemudian harus ditebas (dihukum mati).
            Dalam pepatah lain disebutkan, عَثْرَةُ القَدَمِ أَسْلَمُ مِنْ عَثْرَةِ اللِّسَانِ “Atsrotul qodami aslamu min atsrotil lisan”. Tergelincirnya kaki lebih selamat tinimbang tergelincir kaki. Ya, lisan / lidah yang tergelincir bisa mendatangkan kemudharatan lebih berat. Bahkan jika itu dilakukan dengan tanpa niat dan tanpa sengaja sekalipun.
            Suatu kali, seorang ustaz bercerita, sebut saja namanya Ustaz San. Ia punya asisten pribadi yang tak lain adalah pamannya sendiri. Sang paman menemani ke mana pun sang ustaz mentas. Beliau asisten yang luar biasa. Suatu hari, ustaz San bertemu dengan gurunya, Ustaz Yusuf Mansur.
            Ustaz Yusuf Mansur bertanya, “Kamu ke sini ditemani siapa?” Ustaz San menjawab santai “saya ke sini dengan sopir”. Ya. Sang paman memang tugasnya adalah asistensi Ustaz San, termasuk dalam hal menyopiri kendaraaan. Jadi tak ada yang salah dengan jawaban Ustaz San tersebut. Namun nyatanya ketika itu sang paman ada di sana dan ia merasa tersinggung.
            Ustaz San tidak tahu kalau pamannya itu tersinggung. Ia baru tahu setelah Sang Paman meninggal, ia diberitahu kerabatnya bahwa ketika itu ia sangat kecewa disebut sebagai “sopir”. Ustaz San sangat menyesal atas apa yang ia lakukan.
            Lain cerita di sebuah sekolah. Ada yang bertanya pada seorang guru, “Berapa sih honormu? Berapa sih gaji suamimu?”. Pertanyaan yang memang secara normatif sah-sah saja. Namun, pertanyaan itu terasa menyembilu. Seperti merendahkan.
            Benar. Dalam keseharian kita memang perlu berkomunikasi lisan. Sangat penting. Namun, harus diingat, betapa lidah ini bisa tergelincir. Sekadar candaan juga bisa berbuah amarah. Apabila bercanda kita juga harus memperhatikan situasi dan kondisi. Termasuk siapa yang kita ajak bercanda.
            Tulisan ini sekali lagi mengajak (utamanya diri sendiri) untuk bijak bertutur kata. Jangan sampai kata itu mencipta luka, bakan duka. Semoga, senantiasa, Allah menjaga lisan kita.
            Wallahu a’lam

*Pengajar di GO Kota Banjar


Info CPNS PPPK 2019 & Pelajaran Bahasa Indonesia

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...