Kisah Mahasiswa : Kompre Is Oke
Kisah Hikmah Mahasiswa : Kompre Is Oke
Kompre
Is Ok!
Prito
Windiarto*
Pagi
itu, sekitar pukul sembilan, seorang mahasiswi keluar dari sebuah ruangan
dengan raut wajah pias. Baru berjalan beberapa langkah, beberapa mahasiswa
langsung mengerubunginya.
“Kumaha-kumaha?
Naun Bae?” tanya seseorang.
“Gampang
teu?” tanya yang lain.
Mahasiswi tersebut menelan ludah,
melipir menjauhi ruangan, tersenyum kecut, dan akhirnya ia bersedia angkat
biacara.
“Teu
aya siah nu na kisi-kisi mah,” ungkapnya menerawang.
“Nu
bener? Naun bae kitu nu ditanyakeun?” Mahasiswa yang mengerubung semakin
penasaran. Mahasiswi itu akhirnya menjelaskan panjang lebar, berkeluh kesah.
Tiga meter dari situasi itu aku
duduk mengamati, tepatnya di belakang ruang 1, 2, 3 PJKR. Berjam atau mungkin
bermenit kemudian aku akan merasakan sensasi yang bisa jadi tak jauh berbeda.
Ini ujian komprehensif!
Mendengar statmen mahasiswa tadi
bahwa “pertanyaannya jauh dari kisi-kisi” tiba-tiba menjadi semacam berita
kurang mengenakan. Aku yang sedang bersemangat membaca ringkasan materi jadi sedikit
lungai, tak terlalu berselera. Rumor selama ini bukan isapan jempol biasa.
Baik, sebelum melanjutkan lantunan
kisah ini, kita akan sedikit singgung perihal ujian komprehensif (sebagian
menyingkatnya menjadi kompre). Ujian ini, diadakan di akhir masa kuliah,
setelah semua mata kuliah dari tingkat I sampai tingkat IV terikuti. Bentuknya
ujian lisan. Satu peserta “menghadapi” empat dosen penguji. Materi yang
diujikan sesuai namanya: komprenesif (menyeluruh). Materi tersebut adalah
rumpun mata kuliah pokok. Kalau di Prodi Diksatrasia, meliputi rumpun
kebahasaan, keterampilan berbahasaan, sastra dan proses belajar mengajr (PBM).
Setiap rumpun memiliki anak cabang mata kuliah, yang, tak bisa dibilang
sedikit. Ujian komprehensif bagi sebagian mahasiswa adalah momok menakutkan,
selain skripsi. Apa pasal? Selain karena materi yang diujikan berjibun, juga
karena “mitos” bahwa nilai yang diberikan oleh penguji dalam ujian
komprehensif tidak tinggi (rendah yang
diperhalus).
Desas-desus lain mengatakan bahwa,
materi yang ditanyakan tidak lekat dengan kisi-kisi soal yang diberikan. Dan
itu, memang benar adanya, walau tidak mutlak.
Kembali ke cerita, sekitar satu jam
kemudian, namaku dipanggil. Pemanggilan dilakukan secara acak tidak berdasar
nomor urut. Aku yang sedang tidak terlalu konsen terkejut menerima panggilan.
Tergopoh menuju ruangan. Uluk salam kulantuntan, dijawab serempak tiga penguji
–waktu itu satu penguji lain belum hadir-
“Cepat Prito, waktu kita terbatas!”
Instruksi sang penguji, tegas. Ini bagai teror pertama. Bismillah.
“Baik, Saudara Prito…” ucap salah
seorang penguji memulai dengan suara baritonnya yang khas.
“Tentu saja, untuk Saudara spesial
pertanyaan, berbeda dengan yang lain!” Teror kedua! “Beda dengan yang lain?” tanyaku
dalam hati, penuh debar.
“Anda sudah pernah buat novel. Novel
Anda termasuk aliran apa?”
Hehing. Otak berpikir segera. Tam!
“Aliran realis Pak!” ungkapku
mantap.
“Apa yang membedakannya dengan
aliran lain?!” Ups…
Pertanyaan terus berhamburan.
“Bolehkah redundasi dalam sastra?”
“Kenapa?”
“Apa itu licensia poetica?”
“Contohkan redundasi dalam sastra,
juga ambiguitas?”
“Kalau pleonasme?”
“Apa yang mempengaruhi pelafalan?”
“Sebutkan
jenis-jenis pidato?”
“Apa maksudnya ekstemporan?”
“Wa qul qaulan sadida. Apa artinya?”
Aku menjawab sebisanya,
kadang-kadang jawaban itu membuat penguji tergelak. Mungkin jawabanku yang
sedikit ngawur, atau enatahlah. Yang pasti, Saat itu ada statmen yang takkan
terlupa.
“Anda itu mengecewakan saya!” ucap
seorang penguji berjenggot lebat. Aku tercekat “Mengecewakan? Waduh!”
“Masa kalau biacara ada, e-nya,
e-nya. Langsung!”
“Owh iya Pak! Maaf.” Kupikir kecewa
kenapa.
“Kamu ini bikin terori sendiri,
Prito, Prito!” Aku hanya bisa tersenyum.
“Aamiin Pak, semoga suatu saat saya
bisa buat terori. Teori Prito.” Hiburku dalam hati.
“Ya sudah. Silakan keluar, panggil
Saudara Bla!”
“Alhamdulillah!”
Ketika keluar ruangan, seperti
mahasiswi tadi aku ditanyai ini itu. Kujawab apa adanya. Wajah-wajah tegang.
Selepas zhuhur lanjutan ujian
komprehensif untuk materi PBM (tadi
pengujinya belum ada). Mekanisme yang nyaris sama. Untunglah di kali kedua ini
aku bisa menjawab lebih lancar. Alhamdulillah.
Selepas ujian, peserta mesti
menunggu pengumuman cukup lama. Baru bisa dimulai menjelang magrib. Wajah-wajah
kuyu karena lelah bercampur ketegangan. Aku juga merasakan atmosfir yang sama.
Selepas sambutan dan pemberian wejangan, nilai-nilai dibagikan. Semua lulus
dengan variasi nilai.
Ada yang pulang sumringah karena mendapat
nilai yang bagus, ada yang tertunduk lesu dengan nilai pas-pasan. “Haduh, tilu
gen mani henteu!” Gerutu seorang di antara mereka. Nilaiku? Alhamdulillah!
Cerita selesai sampai di sana? Ah
belum. Ada yang lebih krusial yang hendak daku sampaikan.
Pertama,
soal statmen yang mengatakan bahwa, “Wah buat apa belajar, cape-cape nyari
materi yang ada di kisi-kisi. Gak ada yang dipake, tahu!” “Ujian komprehensif ini, untung-untungan,
nanasiban!”
Kedua,
ada fakta cukup menggiriskan. Beberapa teman, yang, saya tahu mereka belajar
sungguh-sungguh, ternyata mendapat nilai yang, jauh dari idaman. Mereka
tentunduk lesu. Galau tingkat langit –istilah- anak remaja sekarang. Kemanakah
usaha dan munajat doa ini?
Baiklah,
ini pendapat daku. Pertama, statmen bahwa ujian komprehensif adalah
untung-untugan bin nanasiban, ada benarnya. Orang yang pintar, belajar tekun,
bisa jadi karena ketidakmujuran mendapat nilai kurang baik –fakta membuktikan
itu. Tapi saya tidak setuju dengan statmen “tidak perlu belajar!” Itu pendapat
yang tidak baik. Karena prinsip daku, “yang paling utama adalah proses, hasil
nomer sekian.”
Lagi
pula, usaha, ketekunan dan doa itu bisa jadi “pengetuk”, pembuka
(untung-untungan bin nanasiban). Ketika kita telah belajar dengan sunguh-sungguh,
kita punya satu pegangan. Pegangan kebaikan, bahwa, kita telah belajar. Allah
akan memberikan sesuatu atas apa yang telah kita usahakan.
Usaha dan doa itulah yang bisa jadi membuat
Allah menggerakan hati dan pikiran para penguji untuk memberikan pertanyaan
yang bisa dijawab dengan mudah dan pada gilirannya memberikan nilai yang baik.
Kalau tidak ada usaha dan doa, bisa jadi
sebaliknya, kita dianggap “sombong”. Ketika hal tersebut terjadi, sepintar dan seterampil apapun, jika kehendakNya bisa
jadi kita akan gagap menjawab, lidah kelu. Betapa urgennya sebuah usaha dan doa
sebagai bagian dari penghambaan dan tawakal padaNya.
Berikutnya, perihal fakta beberapa
orang yang telah berusaha maksimal disimpuli doa namun ternyata nilainya
jeblok, kemana pola berpikir di atas? Baik, untuk kasus ini ada hal lain yang
perlu diketengahkan. Jebloknya nilai
tersebut boleh jadi adalah ujian sejati. Ujian yang lebih hebat dari
komprehensif. Allah ingin melihat seberapa tangguh orang-orang spesial itu.
Apakah kemudian setelah kejadian itu mereka berkesah “Lah cape-cape diajar!
Lah, ngadoa wen!” Ataukah sebaliknya, bertambah keimanan “Ya Allah, aku telah
berusaha, berdoa penuh seluruh, jika hasilnya terdemikian, semua kupasrahkan.
Syukurku padaMu, jadikan usaha itu ikhlas hanya demiMu”.
Dalam hidup, musibah yang menimpa (misal
dalam kasus ini nilai yang kecil) bisa jadi adalah anugerah. Sebaliknya
anugerah bisa jadi musibah. Tergantung penyikapan. Ketika musibah diterima
dengan hati lapang, sebagai bagian dari ujian, yang semakin mendekatkan
padaNya, itulah sesejatinya anugerah. Sebaliknya, sesuatu yang kita anggap anugerah jika
disikapi negatif dengan rasa bangga berlebih, ujub yang meraja, bahkan takabur,
itulah sesejatinya musibah.
Pada akhirnya, dari berlembar cerita ini, satu
hikmah yang semoga bisa kita reguk, adalah, usaha dan doa memegang peranan
penting. Perihal hasil, nomor kesekian. Usaha dan doa adalah bagian dari
prasangka baik kita terhadap ketentuanNya.
So, kompre is ok! InsyaAllah. Demikianlah Kisah Mahasiswa : Kompre Is Oke Kisah Hikmah Mahasiswa : Kompre Is Oke