Makalah Psikolinguistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa
adalah satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga
dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia, bahasa selalu muncul
dalam segala aspek kegiatan manusia (Abdul Chaer,cetakan 2 2009). Oleh karena
itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk
pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang
memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah
objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan
olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal
symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih
luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya
bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada
kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa
status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam
satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa,
Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa
mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan
antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir
melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa
tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia
mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka
menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan
antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia
kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif,
filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan menyajikan sesuatu yang sangat
menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi
pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa
yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa
yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about otherminds).
1.2 Tujuan Penulisan
1.2 Tujuan Penulisan
Berbahasa
merupakan Kegiatan yang Kompleks, selain berhubungan dengan budaya juga
berhubungan dengan berfikir, maka dari itu penulis memiliki tujuan sebagai
berikut:
1.
Pembaca
dapat memahami Hubungan Berbahasa dengan berbudaya dalam kehidupan masyarakat.
Pembaca dapat memahami Hubungan Bahasa dan berfikir dalam
kehidupan masyarakat
1.3 Pembatasan Masalah
Keterkaitan
kegiatan berbahasa, berfikir dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyarakat
pemakai bahasa sangat luas, maka dari itu kami membatasi pembahasannya sebagai
berikut:
1.
Apa
pengertian bahasa, berfikir dan budaya?
2.
Apa
landasan teori keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam
kegiatan keseharian masyarakat pemaki
bahasa?
3.
Bagaimana
hasil penelitian mengenai keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya
dalam kegiatan keseharian masyarakat
pemakai bahasa?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Mengetahui pengertian bahasa, berfikir dan budaya.
- Mengetahui
landasan teori keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan berbudaya dalam
kegiatan keseharian masyarakat
pemaki bahasa.
- Mengetahui
hasil penelitian mengenai keterkaitan kegiatan berbahasa,berfikir dan
berbudaya dalam kegiatan keseharian
masyarakat pemakai bahasa.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Bahasa
Telah dikukuhkan oleh para ahli
bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada
manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna
menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua.
Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi
dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling
bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
Istilah bahasa dalam bahasa
Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa
Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa
dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai
aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur
kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat sulit sehingga merupakaan
aspek yang tidak mudah didefinisikan.
2.1 Pengertian
Budaya
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan
oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem
simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama,
yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas
Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun Gooddenough sebagaimana
disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa
budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai
seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari
dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena
itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan
kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat
dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak
dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam
berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku
manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for
UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah
sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi,
kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok
untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun
potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi
di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan
menurut Abdul Chaer yaitu:
1.
Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur
kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3.
Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku.
4.
Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan
dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar
hidup.
5.
Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu
sistem yang berpola teratur.
6.
Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.
2.3. Teori-Teori Keterkaitan Bahasa dan Berfikir
2.3.1 Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilman helm Von
Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir
manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat
ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu
tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah
pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka
dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat
bahasa lain.
Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa
substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa
bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk.
Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform
atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari
bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari
keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar,
sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita
dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah
yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain,
Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan
dalam( otak, pemikir) penutur bahasa itu.
2.3.2 Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak
pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa
bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Sama
halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan
’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan
pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah
meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat,
dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis
Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relatifitas bahasa. Menurut
hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang
berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung
pada bahasa-bahasa yang beragam itu.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan
bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara( Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai
struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain
seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan
karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf
membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan
peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi
berdasarkan ruang(space) dan waktu (time).
2.3.3 Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir dan
Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk
bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan
aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya.
Piaget yang mengembangkan teori
pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anak-anak dapat
menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang
serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan
telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan
kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting
berikut:
1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam
bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema,
dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari
aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan
benda-benda(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar
penyimpanan dan opersai pemakaian kembali.
2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan
berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya
miliki suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada
umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi lambing ini ditandai oleh
bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya.
Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi
serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan bayangan-bayangan mental.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum.
2.3.4 Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky,
sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum
adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya
bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah
secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain,
pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak
saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa
mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya
bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak
berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus
mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek
semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek
bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks.
Pikiran dan kata, menurut Vygotsky
(1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya
mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan.
2.3.5 Teori Noam Chomsky
Mengenai
hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang
disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini
tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi
kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri
menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam
pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa
struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak
lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah
dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur
bahasa-dalam yang bersifat universal.
Sebelum
ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu
pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan
adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau
berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah satu system-
universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt
juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa
tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu,
melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah ditentukan
lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-keadaan lingkungan yang sesuai
terdapat.
Pandangan
Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky.
Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang
ada di dunia adalah sama( karena didasari oleh satu system yang universal)
hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep
structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface
structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam
bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dank arena
itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada umunya
termasuk kecerdasan.
2.3.6 Teori Eric Lenneberg
Berkenaan
dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan
teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut
Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi
asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti
bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut
Leeneberg adalah sebagai berikut:
1)
Kemampuan berbahasa sangat erat
hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti
bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa.
2)
Jadwal perkembangan bahasa yang sama
berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak bias dikatakan mengikuti
strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai
prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3)
Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai
cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir.
Namun, bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
4)
Bahasa tidak dapat diajarkan pada
makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu
menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa.
5)
Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan
pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal.
Jadi,
terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah
bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan
bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu
masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada
hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu
masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian
lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah
menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa
didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik
tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967),
beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif,
bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.
2.3.7
Teori Bruner
Berkenaan
dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang
disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada
manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain,
bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat
besar. Memang dalam hubungan inilah beliau ingin mengembangkan teori ini. Di
samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic
dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan
analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih
baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini
hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi
yang baik.
2.3.8
Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori
atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling
bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan
hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan
adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang dimiliki oleh
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan
bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan
bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa.
Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk
berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan
pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada
pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi
pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan
bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang bersaingan yang memiliki
keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-bahasa di
dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat
struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg
mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan,
berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia; dan
tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini
mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner
menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk
menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu.
Diantara
teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling
controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan
suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak
menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi,
psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Untuk
menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian terhadap
sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika yang tinggal di San
Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa
bukan menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan
kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa
Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris.
Satu
masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan ini
adalah apa bedanya kebudayaan dengan pemikiran atau pandangan hidup
(weltanschauung). Bukankah kebudayaan itu sama dengan pandangan hidup? Masalah
ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun,
satu hal yang tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik
suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan.
Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.
2.4.Teori-teori Keterkaitan Antara
Bahasa dan Kebudayaan.
Ada
berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan
bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada
dalam kebudayaan akan tercermin di bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan
bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berfikir manusia atau
masyarakat penuturnya.
Nababan mengelompokkan defenisi kebudayaan atas empat golongan, yakni (1) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai pegatur dan pengikat masyarakat; (2) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia, dan (4) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Defenisi yang dibuat nababan ini tentunya tidak salah, sebab sistem atau aturan-aturan komunikasi itu memang bagian dari kebudayaan; tetapi kebudayaan itu bukan hanya sistem komunikasi saja, melainkan menyangkut juga masalah-masalah lain, minimal termasuk tiga golongan defenisi yang dikemukakannya diatas. Jadi, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (defenisi-defenisi golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (defenisi-defenisi golongan) (2), dan kebiasaan dan perilaku (defenisi-defenisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia termasuk atauran atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang di buat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya yang “melekat” pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai : kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
Nababan mengelompokkan defenisi kebudayaan atas empat golongan, yakni (1) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai pegatur dan pengikat masyarakat; (2) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia, dan (4) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Defenisi yang dibuat nababan ini tentunya tidak salah, sebab sistem atau aturan-aturan komunikasi itu memang bagian dari kebudayaan; tetapi kebudayaan itu bukan hanya sistem komunikasi saja, melainkan menyangkut juga masalah-masalah lain, minimal termasuk tiga golongan defenisi yang dikemukakannya diatas. Jadi, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (defenisi-defenisi golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (defenisi-defenisi golongan) (2), dan kebiasaan dan perilaku (defenisi-defenisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia termasuk atauran atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang di buat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya yang “melekat” pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai : kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Keterkaitan Antara Kegiatan
Berbahasa dan Berfikir
Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan
antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa Mempengaruhi Pikiran
Pemahaman
terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia
terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan
ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh
Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang
Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini
membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2.
Pikiran Mempengaruhi Bahasa
Pendukung
pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu
Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan
aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan
mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin
tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi.
Hubungan
timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky,
seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai
pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
Penggabungan. Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh
kalangan ahli psikologi kognitif.
3.2 Keterkaitan Antara Bahasa dan
Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa
dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga
segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan
dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip
Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari
kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun
pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi.
Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu
adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya
interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,
dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang
satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
3.3 Hasil Penelitian
3.3.1
Refleksi terhadap teori-teori keterkaitan antara bahasa dan berpikir
Berikut
refleksi kelompok kami terhadap teori-teori tentang keterkaitan antara kegiatan
berbahasa dan berfikir:
- Teori Wilhelmm von Humboldt
Beliau mengungkpkan tentang
ketergantungan bahasa dan pikiran. struktur suatu bahasa menyatakan pemikiran
penutur bahasa.
- Teori Sapir-Whorf
Beliau mengungkapkan bahwa bahasa
dari masyarakat telah ‘mendirikan’ suatu dunia tersendiri untuk penutur bahasa.
Setiap ‘perbuatan’ adalah karena sipat-sipat bahasa telah menggariskannya demikian.
- Teori Jean Piaget
Ia berpendapat bahwa pikiranlah yang
membentuk bahasa. Tindakan (perilaku) terlebih dahulu baru kemudian bahasa.
- Teori L.S Vygotsky
Beliau menyatakan adanya satu tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan
pikiran sebelum adanya bahasa. Bahasa dan pikiran awalnya terpisah kemudian
bertemu.
- Teori Noam Chomsky
Hipotesis beliau adalah
·
Hipotesis
Nurani : Anak dibekali rumus-rumus
struktur bahasa. Sttruktur bahasa dalam adalah nurani.
- Teori Eric Lenneberg
Teori kemampuan bahasa khusus:
Manusia memiliki warisan biologi untuk berkomunikasi, tidak ada hubungannya
dengan kecerdasan dan pemikiran, namun pada kemudian hari juga dipengaruhi
oloeh kemampuan kognitif nurani.
- Teori Bruner
Bahasa adalah alat pada manusia
untuk mengembangkan atau menyempurnakan pemikiran itu. Bahasa membantu
pemikiran manussia supaya dapat berfikir lebih sistematis.
- Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf
pendapat Kontroversial sapir-Whorf:
Jalan pikiran dan kebudayaan suatu
masyarakat ditentukan oleh (dipengaruhi) oleh struktur bahasanya.
3.3.2 Simpulan Penelitian Keterkaitan antara Bahsa
dan Berpkir
Kelompok
kami lebih condong pada teori Eric Lenberg. Benar adanya bahwa Allah SWT telah
menganugerahkan “alat khusus almiah” bagi seorang anak untuk memperoleh
bahasanya dan tidak tergantung penuh pada pemikirannya.
Contoh
kasus seorang anak 4 tahun (Fati Akhmad) mulai lancar berbicara walaupun secara
akal (pemikiran) belum mencapai usia akhil baligh. Pada sisi lain, sedikit banyak
aspek kognitif nurani mempengaruhi pemerolehan bahasa. Anak yang dibesarkan (diajarkan)
dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang halus, misal dipedesaan, maka ia
akan tumbuh dengan bahasa yang halus juga. Berbeda halnya dengan seorang anak
yang hidup dengan suasana keterbahasaan yang kasar, maka ia akan tumbuh menjadi
anak yang berbahasa kasar.
Pada
intinya, setiap manusia mempunyai pola pikir yang berbeda-beda. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya yaitu, tinggi rendahnya suatu pendidikan, dan juga
faktor lingkungan jg (missal hidup di kota atau di desa).
3.3.3
Simpulan Penelitian Keterkaitan
antara Bahasa dan Kebudayaan
Antropolog menyatakan bahwa bahasa
adalah bagian dari kebudayaan, sementara ahli linguistic menyatakan bahwa
kebudayaan adalah salah satu dimensi dari bahasa, karena itu kami menyimpulkan
bahwa memang benar, bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, contoh kasus di
kecamaatan dayeuh luhur yang masuk wilayah jawa tengah berbahasa sunda,ternyata
juga berbudaya sunda, padahal notabene sebagian besar penduduk jawa tengah
berbahasa dan berbudaya jawa. Di dayeuh luhur budaya-budayanya serupa dengan
kebudayaan sunda seperti tari jaipong,ronggeng,dll.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari uraian diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang
saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat
dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap
perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa
(production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain
kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki
gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan
performansi yang optimal.
Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang
dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Diantara teori atau
hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling
controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan
suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, namun
hipotesis tersebut banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli
filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan
lain-lain. Dan untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan
penelitian.
Para ahli menguraikan mengenai
keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
2.
Pikiran mempengaruhi bahasa
3.
Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Chaer,
abdul dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik,
Perkenalan awal. Jakarta. Rineka Cipta, 2007.
Arifudin,.
Neuro Psiko linguistik. Jakarta.
rajawali, 2010
http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik
http://www.scribd.com/doc/3904183/teori-hubungan+bebahasa+berpikir+berbudaya
http://www.slideshare.net/awangga/psikolinguistik-untuk-s2r-ev2
http://lubisgrafura.wordpress.com/ Kekontroversian-Hipotesis-Sapir-Whorf
http://www.rachimuddin.com/search/contoh+penelitian+komparatif
http://202.91.15.14/upload/files/8991_01Metodologi.ppt
http://usupress.usu.ac.id/files/Psikolinguistik%20Bisnis%20Edisi%202_Normal_bab%201.pdf
http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik
http://www.scribd.com/doc/3904183/teori-hubungan+bebahasa+berpikir+berbudaya
http://www.slideshare.net/awangga/psikolinguistik-untuk-s2r-ev2
http://lubisgrafura.wordpress.com/ Kekontroversian-Hipotesis-Sapir-Whorf
http://www.rachimuddin.com/search/contoh+penelitian+komparatif
http://202.91.15.14/upload/files/8991_01Metodologi.ppt
http://usupress.usu.ac.id/files/Psikolinguistik%20Bisnis%20Edisi%202_Normal_bab%201.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar